Sabtu, 21 Januari 2012

SAJAK PARA PENCURI!!!


Oleh Nurani Soyomukti*)

Aku butuh makan
Tapi aku tak punya bahan makanan
Aku seharusnya membuat makanan
Tapi aku tak punya alat produksi untuk menciptakan makanan
Lalu aku harus beli.

Aku tak bisa beli, karena aku tak punya uang
Aku sudah berusaha bekerja untuk mendapatkan uang
Tapi tak ada pekerjaan
Yang sudah kerja saja dipecat atas nama efesiensi perusahaan
Jadi aku tak punya apa-apa:
Tak punya pekerjaan, tak punya uang, tak punya alat produksi
Aku bukan buruh, bukan tenaga kerja, karena aku tak bekerja (pada majikan)
Jadi, aku menganggur!

Kalau aku menganggur pasti tak bisa makan
Lalu aku pasti akan mati
Tidak, aku tidak mau mati.
Lalu aku menimbang: mengemis atau mencuri?
Kalau mengemis aku malu,
Karena aku meminta di depan mukanya dan terlihatlah mukaku
Kalau mencuri tidak kelihatan
Karena aku mengambil saat mereka tak ada
Atau mereka ada tetapi aku melakukan tanpa mereka tahu!

Lalu aku memilih semuanya:
Kalau siang aku mengemis
Kalau malam aku mencuri

Lihatlah temanku:
Kalau siang berdagang asongan
Kalau malam jual kenikmatan
Kalau siang tidur, kalau malam jadi pelacur!

Banyak juga yang bilang ini tak bermoral
Tetapi setelah tak pikir-pikir, kaum moralis adalah munafik
Mencuri ayat-ayat tuhan,
Lalu ditukar dengan uang
Menjual agama
Untuk kepentingan dunia
Menakut-nakuti neraka, mengumbar janji surga
Agar kita semua menerima saja—karena akan di ganti surga.

Kalau aku mencuri dosa, katanya masuk neraka
Kalau aku berhenti mencuri dan bertobat, aku masuk surga!

Tapi adakah yang tidak mencuri?
Koruptor mencuri uang negara, dari rakyat yang bayar pajak
Dari keringat dan air mata
Majikan mencuri kerja buruh
Tengkulak mencuri hasil panen tani:
Saat menanam harga pupuk mahal,
Saat memanen harga gabah turun!

Yang sasaran produksinya jelas, ditindas
Yang punya tanah kecil, ditindas oleh harga yang ditetapkan pemerintah
Yang alat produksinya tubuh, upah tak cukup untuk mengeringkan keringat

Bagaimana aku yang hanya pengemis dan pencuri?
Maka kucanggihkan gaya mencuriku, mseki hasilnya sedikit, setidaknya meningkatkan kemampuan bagaimana agar jadi pencuri yang tak pernah ketahuan
Meski hasilnya kecil, cukup untuk mengisi perut, beli rokok, dan mabuk bersama teman-teman, agar bisa melupakan hidup yang pahit
Hidup yang pahit perlu dilupakan
Maka butuh candu agar lupa dunia dan mabuk surga
Mabuk adalah melupakan kenyataan, dan berkhayal tentang kesenangan.
Ya, pendapatanku akan kecil
Aku hanyalah pencuri amatiran
Tak seperti pencuri uang negara:
yang mencuri uang triliunan, tapi tetap tak tersentuh hukum.

Aku mencuri, tak pernah memiliki
Tak pernah menumpuk harta
Mencuri hanya untuk makan

Mereka mencuri
Untuk menumpuk harta
Untuk memiliki

Dan aku akan terus mencuri
Selama ada kepemilikan pribadi.
Sebab kekayaan ini dulu milik alam
Kenapa alam dan kekayaan tidak milik bersama
Kenapa alam dan kekayaan dimonopoli sedikit orang?

Karena itulah, muncul tatanan pencurian ini...
Selama ada tatanan pencurian ini,
Pencuri seperti aku, dan pencuri uang negara akan tetap ada!
Indonesia negara merdeka.
Negeri pencuri, para pencuri merdeka.
Hukum tidak ada
Ada tapi jadi alat untuk melindungi pencuri.***

Arisan Sastra, Sebuah Oase Budaya di Trenggalek


Ketika 3 atau 4 orang (saja) mengadakan pertemuan rutin dan mendiskusikan sesuatu hal secara intensif, sebuah oase budaya dapat terbangun dan berkembang menjadi besar, atau setidaknya menghasilkan sesuatu yang besar, dan menggelembung melampaui batas-batas wilayah geografis mereka, seperti yang dilakukan Socrates dan kawan-kawan (Socrates Café) atau Derrida dan kawan-kawan. Tiba-tiba, di Trenggalek muncul kelompok diskusi yang dibangun oleh sosok-sosok muda yang gandrung tulis-baca, yang dengan segala daya-upaya mereka giat mengampanyekan gerakan literasi di kota kecil yang jika terkenal pun, sering lebih karena kemiskinan dan keterpencilannya ini.

Kelompok anak-anak muda yang dipelopori Nurani Soyomukti, penulis yang sudah melahirkan belasan buku, Tony Saputra, mahasiswa STKIP Trenggalek yang gemar menulis puisi, dan kawan-kawan itu pun menjadi semacam kumparan yang semakin memperkokoh keberadaannya dengan aneka macam kegiatan, dari menyelenggarakan diskusi sastra, peluncuran/bedah buku, dan yang secara rutin diagendakan setiap bulan sejak 6 bulan lalu adalah: Arisan Sastra Trenggalek (selanjutnya disebut dengan Arisan Sastra). Beberapa nama yang dalam hal usia tidak bisa disebut muda lagi pun bergabung ke dalam kelompok ini.

Ini adalah kabar gembira, ketika masyarakat kita, tak terkecuali yang hidup di pelosok-pelosok desa cenderung menjadi sangat pragmatis-materialistis, dan pembangunan karakter bangsa hanya menjadi jargon atau kalau dilakukan pun sering lebih berorientasi proyek. Nurani Soyomukti dan kawan-kawan ini melakukan gerakan budaya dengan segenap kemampuan (yang sesungguhnya sangat terbatas) yang mereka miliki. Dan hebatnya, lagi-lagi, mata kita dibuka untuk melihat kenyataan bahwa kemauan yang kuat, yang bersih dari pretensi mendapatkan keuntungan material, mampu menyerap kekuatan alamiah yang, menurut saya: luar biasa, membalik keadaan dari kemampuan yang sangat terbatas itu menjadi kemampuan luar biasa.

Luar biasa, ketika puluhan orang bertahan untuk bergantian membaca/mendengarkan pembacaan-puisi, orasi, di tengah guyuran rintik hujan, dari sekitar pukul 19.00 hingga tengah malam (Rumah Hamzah Abdillah, Jl. WR Supratman, Minggu, 5 Maret 2011).

Luar biasa, ketika acara yang bahkan tidak tertera di dalam agenda Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten (Trenggalek) ini dihadiri oleh penulis, penyair, sastrawan dari berbagai kota: Bojonegoro (Riza Multazam Luthfi), Malang (Misbahus Su’rur), Jombang (Hadi Sutarno), Ponorogo (Ary Nurdiana), dan Ngawi (Hardho Sayoko).

Luar biasa, karena Arisan Sastra ini adalah model pembangunan kebudayaan dari akar rumput, dari bawah, yang sangat berpeluang menyejajarkan Trenggalek dengan kabupaten lain di Jawa Timur yang lebih dahulu maju di bidang kesusasteraaan dan dunia penulisan ini: Sumenep, Lamongan, Bojonegoro, yang belakangan disusul Kabupaten/Kota Mojokerto.

Mengapa tradisi tulis-baca seperti dilakukan Nurani Soyomukti ini penting untuk dibangun? Sastrawan peraih SEA Write Award Suparto Brata yang menulis dengan dua bahasa (Jawa dan Indonesia) memiliki jawaban yang bagus untuk pertanyaan itu: ’’Kita bisa bertani dengan baik hanya dengan mendengarkan siaran radio mengenai cara-cara bertani yang baik. Tetapi, kita tidak akan dapat membuat radio hanya dengan mengikuti petunjuknya melalui siaran radio.’’ Artinya, tradisi baca-tulis atau gerakan literasi adalah wajib hukumnya untuk masyarakat yang ingin maju peradabannya.

Luar biasa, karena Arisan Sastra ini menunjukkan kepada kita adanya geliat-gerak-maju peradaban/kebudayaan, dalam pengertian tidak statis dan puas hanya mengelus-elus warisan budaya nenek moyang (baca: tradisi lisan), yang, mengelus pun kini sepertinya sudah tidak dilakukan dengan benar. Hanya mau merawat (dengan baik) budaya warisan dan tidak dapat mengembangkannya dengan baik paling banter hanya akan menjadikan masyarakat sebagai semacam museum. Jangan sampai instansi bernama Dinas kebudayaan dan Pariwisata di negri ini, khususnya di Jawa Timur hanya mendjadi semacam biro penjualan tiket masuk ke: gua, pantai, candi. Jangan sampai hanya mau sesekali nanggap wayang, ludruk, kentrung, sambil merasa telah ikut menjaga dan mengembangkan warisan budaya bernama kesenian tradisional itu. Adalah kecelakaan budaya jika kita tidak mampu dengan benar merawat warisan dan gagal menciptakan iklim yang baik bagi dunia kreasi, penciptaan, bagi generasi terkini. Dan perlu dicatat pula, Arisan Sastra ini sekaligus juga dapat dipandang sebagai salah satu obat antidehidrasi (menghindarkan kelumpuhan kultural masyarakat) di tengah-tengah banjir limbah peradaban dunia.

Pada akhirnya saya hanya ingin mengatakan, bolehlah Dewan Kesenian Jawa Timur tidak tahu bahwa di Trenggalek juga ada Dewan Kesenian (Kabupaten Trenggalek). Tetapi, kini ada harapan untuk menuju apa yang bisa saya katakan dengan: ’’tidak ada yang salah dengan kesenian di Trenggalek.’’

Arisan Sastra ini penting untuk terus dipacu dan dikembangkan sebagai oase budaya di Trenggalek, dan tidak perlu digiring menjadi koperasi. Karena itulah disamping Nurani Soyomukti yang menjadi tumpuan utama keberlangsungan gerakan ini, saya mengusulkan Tony Saputra untuk dukukuhkan sebagai Bupati Penyair Trenggalek. Setuju, ya? [Bonari Nabonenar, peserta Arisan Sastra Trenggalek].

[Radar Surabaya, 18 April 2011]

INDONESIA YANG MEMBUKA PIKIRAN DAN MENERIMA PERBEDAAN


Masalahnya, Indonesia adalah sebuah negara-bangsa yang oleh pendirinya dimaksudkan sebagai bangsa yang masyarakatnya terbuka. Tanah Dwipantara dan Nusantara yang kemudian bernama Indonesia ini telah menerima cara berpikir apapun, mulai animisme, dinamisme, kepercayaan pada dewa-dewa, agama Hindu, Budha, Kristen, Katholik, Konghucu, bahkan juga orang-orang yang tak peduli pada agama dan tak percaya pada agama. Maka inilah pluralisme di bawah lindungan dasar Negara Pancasila, dengan mengadopsi nilai-nilai lokal yang arif disinergikan dengan ajaran HAM (hak asasi manusia) dan demokrasi dari Barat. Sekulerisme juga dipilih karena agama adalah urusan pribadi dan tak bisa dicampuri. Negara juga harus diselamatkan dari dominasi agama tertentu secara formal. Kebebasan beragama dan berfikir dilindungi. Negara tak bisa (tak boleh) menghakimi, menilai, menghukum orang berdasarkan (identitas) agama dan sukunya. Siapapun orang yang baik harus dihormati, dan orang yang jahat harus dihukum. Sekali lagi, bukan karena identitas agama dan identitas suku atau kelompok atau alirannya. Orang yang rajin beribadah pun, yang rajin menyebarkan agama, yang oleh kelompoknya disanjung dan dihormati, kalau melakukan perbuatan jahat atau memprovokasi perbuatan jahat (merusak dan melakukan pengebom) juga ditangkap pihak berwenang dan diadili di depan hukum. Tak kenal orang yang rajin beribadah dan fanatik beragama, kalau korupsi juga akan berhadapan dengan hukum—lepas dari masih kurang bagusnya budaya hukum kita.

Kita beruntung bisa hidup di negeri demokratis dan berdasar hukum sekuler ini. Sebab kecil kemungkinan orang menggunakan hukum tuhan (hukum negara yang berdasarkan agama tertentu) untuk dijadikan oleh elit tertentu yang dianggap punya otoritas agama yang paling kuat untuk menghukum manusia menurut penafsiran manusia atas ajaran Tuhan. Dan karena negara adalah pemegang otoritas dan monopoli kekuasaan, akan bahaya jika orang yang mengatasnamakan Tuhan (agama) menjadi algojo atau polisi moral atas perbuatan orang lain dan rakyatnya.

Inilah untungnya dipisahkan antara agama dan negara secara formal—meski secara substansial tak dipisahkan. Tuhan tak perlu kawatir namanya diperalat oleh para pemimpin dan pejabat negara untuk menghukum atas perbuatan di dunia. Dan Tuhan justru bahagia karena suatu masyarakat mau menjalani proses dan mau berikhtiar untuk menafsirkan dan mengkreasi hukum-hukum dunia yang digunakan untuk mengatasi masalahnya sendiri. Manusiapun bisa menggunakan karya Tuhan (akal dan kerjanya) untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Di sinilah manusia benar-benar berhubungan dan berproses dengan manusia lain dan alam, sebagai ujian Tuhan.

Kita beruntung sekalu hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena masyarakat kita sangat terbuka pada perbedaan. Maka disinilah kita harus memanfaatkan keterbukaan ini untuk memaksimalkan cara berpikir dan akal sehat kita. Kita sudah diberikan ruang yang terbuka. Tinggal kita mau memanfaatkannya atau tidak!!! [*]

RUANG SEMPIT DAN MENEKAN MELAHIRKAN PIKIRAN SEMPIT

Kenapa seringkali tindakan yang tidak masuk akal yang menghasilkan kerusakan, kejahatan, dan keanehan? Dan kenapa kebanyakan orang hanya ikut-ikutan dan seakan masyarakat kemudian menjadi satu dimensi? Konon ruang demokrasi sudah dibuka, tetapi kenapa tidak menghasilkan kreativitas sikap dan tindakan, gaya hidup dan pemaknaan yang mendalam antara masing-masing orang yang berbeda baik secara individu maupun kelompok? Tentu karena orang yang tidak berpikir (terbuka) biasanya hanya bergerak atas perasaan saja. Sementara perasaan adalah tempat manipulasi sesuatu dari luar.

Lihatlah kenapa anak-anak kecil di kantong perlawanan atas nama agama diajari menembak dan merakit bom, didoktrin untuk melakukan bunuh diri membawa bom di Irak, Afghanistan, dan lain-lain. Sejak kecil mereka dibentuk untuk membesar-besarkan perasaan, yaitu perasaan kebencian, dan bukan akal sehat. Mereka didoktrin dengan pikiran berpikir sempit dan dangkal. Orang-orangtua di sekitar mereka, mungkin bukan orangtua asli tetapi orang yang lebih tua yang sedang membangun pasukan berani mati, hanya mengajari mereka bagaimana kelompoknya menang dengan jalan perang (dengan jani-janji surga, dll).

Tentu saja dari segi perasaan dalam diri, semangat mereka membara. Tetapi dasar berpikir mereka jelas sempit karena diisi oleh doktrin-doktrin sempit penafsiran agama. Mereka tak pernah menggunakan otak dan akal sehat pikirannya untuk mengarah pada pertanyaan alternatif: “Kenapa harus berperang? Apakah perang ini adalah takdir dan perintah, ataukah lahir dari situasi lingkungan tertentu? Kenapa anak-anak seperti kami harus memusuhi orang lain pada saat anak-anak di dunia lain harus belajar? Benarkah ajaran agamaku berisi perang dan kekerasan?”

Memang anak-anak kecil sulit otaknya masih mudah diisi. Apalagi yang mengisi adalah orang-orang yang ingin menghabiskan hidupnya untuk perang atas nama agama. Anak-anak seperti di Jalur Gaza yang menjadi perebutan Israel dan Palestina, tak ada lagi pilihan. Sekolah-sekolah dihancurkan, mereka tak bisa belajar. Orangtuanya dibunuh oleh penjajah yang oleh teman-teman orangtuanya dan orang-orang sekitarnya diidentifikasi berdasarkan agamanya. Akhirnya mereka terbiasa menganalisa sesuatu berdasarkan cara berpikir tafsir agama yang diajarkan orangtuanya. Ajaran itu adalah bahwa agamanya adalah agama perang dan dengan perang pulalah Kejayaan Agama mereka bisa diraih.

Ideologi dari wilayah seperti itu telah berusaha diimpor ke daerah-daerah lain, negara-negara lain, kawasan lain. Dari lingkungan yang membuat orang berpikir sempit dan lingkungan yang membuat orang hanya tahu permusuhan atas nama kebenaran tafsir agama kelompok dan alirannya itulah, ideologi sempit keberagamaan menyebar dan datang, termasuk di Indonesia.*

KERUGIAN PERSONAL DAN SOSIAL DARI BERPIKIR SEMPIT!

Semakin pikiran terbuka dan berpikir mendalam, terbuka kemungkinan lain dalam menyikapi hidup! Berpikir terbuka dan mendalam membuat kita tidak hanya meniru-niru, bisa memaknai hidup secara lebih autentik. Berpikir salah kadang mendorong tindakan yang salah. Tindakan kekerasan, tindakan yang beresiko merugikan diri sendiri dan orang lain, seringkali lahir dari pemikiran yang salah. Tindakan kekerasan tentu lahir dari orang yang emosi (perasaannya) banyak mengendalikan, marah, kalap, dan saat melakukannya tak menggunakan otak (akal pikiran). Kata Mahatma Gandhi: “Kekerasan adalah senjata terakhir bagi orang yang jiwanya lemah”.

Jiwa yang tidak didukung oleh akal sehat, hanyalah jiwa yang hanya ikuti perasaan saja (tanpa akal sehat), yang mungkin memberi spirit seakan menguatkan jiwa dalam pribadi seseorang, tetapi secara social berakar pada kerapuhan jiwa. Lihat saja, para teroris pelaku bom dilihat dari personalitas dan spiritualitas perasaannya sangat kuat ke dalam diri sendiri, sehingga semangat hidupnya besar sekali dalam melakukan tindakan teror, meledakkan gedung dan bangunan-bangunan yang dianggapnya milik “musuh” kelompoknya (yang dianggap “kafir” berdasarkan penafsiran sempit atas agamanya).

Dalam masyarakat yang masih terbelakang, disadari atau tidak, manipulasi dan kebohongan atau desain perasaan dari luar, yang kadang juga dibantu dengan ilusi/khayalan, hanya bisa dibongkar dan dikuak oleh pemikiran objektif, terbuka, dan kritis. Anda merasa paling benar, kemudian anda mengambil sikap terhadap orang lain. Perasaan anda jelas akan membawa dampak pada hubungan anda dengan orang lain. Ambil contoh, anda memegang ajaran agama fanatic, dan anda menganggap ajaran agama anda yang paling benar untuk menyalahkan orang lain yang anda anggap dengan ajaran agama anda. Mungkin anda hanyalah penafsir agama sempit yang bisa jadi sikap dan perbuatan atas keberagamaan anda sama sekali salah bahkan menurut agama anda sendiri.

Bahkan bisa jadi agama anda jauh lebih buruk dari pada agama orang lain. Jadi kenapa kok tidak berusaha mendalami ajaran agama selain agama anda sendiri, dengan perasaan terbuka mau masuk pada cara piker orang dari kelompok agama lain. Kenapa tidak? Jujur saja, anda memeluk ajaran agama karena warisan orangtua anda yang ditetapkan lewat surat identitas waktu anda masih Balita yang saat itu anda tak bisa memilih dan menerima agama berdasarkan pilihan Anda secara merdeka, pikiran terbuka, dan alasan yang memungkinkan memilih didasarkan pada suatu hal yang masuk di akal.*