Sabtu, 21 Januari 2012

SAJAK PARA PENCURI!!!


Oleh Nurani Soyomukti*)

Aku butuh makan
Tapi aku tak punya bahan makanan
Aku seharusnya membuat makanan
Tapi aku tak punya alat produksi untuk menciptakan makanan
Lalu aku harus beli.

Aku tak bisa beli, karena aku tak punya uang
Aku sudah berusaha bekerja untuk mendapatkan uang
Tapi tak ada pekerjaan
Yang sudah kerja saja dipecat atas nama efesiensi perusahaan
Jadi aku tak punya apa-apa:
Tak punya pekerjaan, tak punya uang, tak punya alat produksi
Aku bukan buruh, bukan tenaga kerja, karena aku tak bekerja (pada majikan)
Jadi, aku menganggur!

Kalau aku menganggur pasti tak bisa makan
Lalu aku pasti akan mati
Tidak, aku tidak mau mati.
Lalu aku menimbang: mengemis atau mencuri?
Kalau mengemis aku malu,
Karena aku meminta di depan mukanya dan terlihatlah mukaku
Kalau mencuri tidak kelihatan
Karena aku mengambil saat mereka tak ada
Atau mereka ada tetapi aku melakukan tanpa mereka tahu!

Lalu aku memilih semuanya:
Kalau siang aku mengemis
Kalau malam aku mencuri

Lihatlah temanku:
Kalau siang berdagang asongan
Kalau malam jual kenikmatan
Kalau siang tidur, kalau malam jadi pelacur!

Banyak juga yang bilang ini tak bermoral
Tetapi setelah tak pikir-pikir, kaum moralis adalah munafik
Mencuri ayat-ayat tuhan,
Lalu ditukar dengan uang
Menjual agama
Untuk kepentingan dunia
Menakut-nakuti neraka, mengumbar janji surga
Agar kita semua menerima saja—karena akan di ganti surga.

Kalau aku mencuri dosa, katanya masuk neraka
Kalau aku berhenti mencuri dan bertobat, aku masuk surga!

Tapi adakah yang tidak mencuri?
Koruptor mencuri uang negara, dari rakyat yang bayar pajak
Dari keringat dan air mata
Majikan mencuri kerja buruh
Tengkulak mencuri hasil panen tani:
Saat menanam harga pupuk mahal,
Saat memanen harga gabah turun!

Yang sasaran produksinya jelas, ditindas
Yang punya tanah kecil, ditindas oleh harga yang ditetapkan pemerintah
Yang alat produksinya tubuh, upah tak cukup untuk mengeringkan keringat

Bagaimana aku yang hanya pengemis dan pencuri?
Maka kucanggihkan gaya mencuriku, mseki hasilnya sedikit, setidaknya meningkatkan kemampuan bagaimana agar jadi pencuri yang tak pernah ketahuan
Meski hasilnya kecil, cukup untuk mengisi perut, beli rokok, dan mabuk bersama teman-teman, agar bisa melupakan hidup yang pahit
Hidup yang pahit perlu dilupakan
Maka butuh candu agar lupa dunia dan mabuk surga
Mabuk adalah melupakan kenyataan, dan berkhayal tentang kesenangan.
Ya, pendapatanku akan kecil
Aku hanyalah pencuri amatiran
Tak seperti pencuri uang negara:
yang mencuri uang triliunan, tapi tetap tak tersentuh hukum.

Aku mencuri, tak pernah memiliki
Tak pernah menumpuk harta
Mencuri hanya untuk makan

Mereka mencuri
Untuk menumpuk harta
Untuk memiliki

Dan aku akan terus mencuri
Selama ada kepemilikan pribadi.
Sebab kekayaan ini dulu milik alam
Kenapa alam dan kekayaan tidak milik bersama
Kenapa alam dan kekayaan dimonopoli sedikit orang?

Karena itulah, muncul tatanan pencurian ini...
Selama ada tatanan pencurian ini,
Pencuri seperti aku, dan pencuri uang negara akan tetap ada!
Indonesia negara merdeka.
Negeri pencuri, para pencuri merdeka.
Hukum tidak ada
Ada tapi jadi alat untuk melindungi pencuri.***

Arisan Sastra, Sebuah Oase Budaya di Trenggalek


Ketika 3 atau 4 orang (saja) mengadakan pertemuan rutin dan mendiskusikan sesuatu hal secara intensif, sebuah oase budaya dapat terbangun dan berkembang menjadi besar, atau setidaknya menghasilkan sesuatu yang besar, dan menggelembung melampaui batas-batas wilayah geografis mereka, seperti yang dilakukan Socrates dan kawan-kawan (Socrates Café) atau Derrida dan kawan-kawan. Tiba-tiba, di Trenggalek muncul kelompok diskusi yang dibangun oleh sosok-sosok muda yang gandrung tulis-baca, yang dengan segala daya-upaya mereka giat mengampanyekan gerakan literasi di kota kecil yang jika terkenal pun, sering lebih karena kemiskinan dan keterpencilannya ini.

Kelompok anak-anak muda yang dipelopori Nurani Soyomukti, penulis yang sudah melahirkan belasan buku, Tony Saputra, mahasiswa STKIP Trenggalek yang gemar menulis puisi, dan kawan-kawan itu pun menjadi semacam kumparan yang semakin memperkokoh keberadaannya dengan aneka macam kegiatan, dari menyelenggarakan diskusi sastra, peluncuran/bedah buku, dan yang secara rutin diagendakan setiap bulan sejak 6 bulan lalu adalah: Arisan Sastra Trenggalek (selanjutnya disebut dengan Arisan Sastra). Beberapa nama yang dalam hal usia tidak bisa disebut muda lagi pun bergabung ke dalam kelompok ini.

Ini adalah kabar gembira, ketika masyarakat kita, tak terkecuali yang hidup di pelosok-pelosok desa cenderung menjadi sangat pragmatis-materialistis, dan pembangunan karakter bangsa hanya menjadi jargon atau kalau dilakukan pun sering lebih berorientasi proyek. Nurani Soyomukti dan kawan-kawan ini melakukan gerakan budaya dengan segenap kemampuan (yang sesungguhnya sangat terbatas) yang mereka miliki. Dan hebatnya, lagi-lagi, mata kita dibuka untuk melihat kenyataan bahwa kemauan yang kuat, yang bersih dari pretensi mendapatkan keuntungan material, mampu menyerap kekuatan alamiah yang, menurut saya: luar biasa, membalik keadaan dari kemampuan yang sangat terbatas itu menjadi kemampuan luar biasa.

Luar biasa, ketika puluhan orang bertahan untuk bergantian membaca/mendengarkan pembacaan-puisi, orasi, di tengah guyuran rintik hujan, dari sekitar pukul 19.00 hingga tengah malam (Rumah Hamzah Abdillah, Jl. WR Supratman, Minggu, 5 Maret 2011).

Luar biasa, ketika acara yang bahkan tidak tertera di dalam agenda Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten (Trenggalek) ini dihadiri oleh penulis, penyair, sastrawan dari berbagai kota: Bojonegoro (Riza Multazam Luthfi), Malang (Misbahus Su’rur), Jombang (Hadi Sutarno), Ponorogo (Ary Nurdiana), dan Ngawi (Hardho Sayoko).

Luar biasa, karena Arisan Sastra ini adalah model pembangunan kebudayaan dari akar rumput, dari bawah, yang sangat berpeluang menyejajarkan Trenggalek dengan kabupaten lain di Jawa Timur yang lebih dahulu maju di bidang kesusasteraaan dan dunia penulisan ini: Sumenep, Lamongan, Bojonegoro, yang belakangan disusul Kabupaten/Kota Mojokerto.

Mengapa tradisi tulis-baca seperti dilakukan Nurani Soyomukti ini penting untuk dibangun? Sastrawan peraih SEA Write Award Suparto Brata yang menulis dengan dua bahasa (Jawa dan Indonesia) memiliki jawaban yang bagus untuk pertanyaan itu: ’’Kita bisa bertani dengan baik hanya dengan mendengarkan siaran radio mengenai cara-cara bertani yang baik. Tetapi, kita tidak akan dapat membuat radio hanya dengan mengikuti petunjuknya melalui siaran radio.’’ Artinya, tradisi baca-tulis atau gerakan literasi adalah wajib hukumnya untuk masyarakat yang ingin maju peradabannya.

Luar biasa, karena Arisan Sastra ini menunjukkan kepada kita adanya geliat-gerak-maju peradaban/kebudayaan, dalam pengertian tidak statis dan puas hanya mengelus-elus warisan budaya nenek moyang (baca: tradisi lisan), yang, mengelus pun kini sepertinya sudah tidak dilakukan dengan benar. Hanya mau merawat (dengan baik) budaya warisan dan tidak dapat mengembangkannya dengan baik paling banter hanya akan menjadikan masyarakat sebagai semacam museum. Jangan sampai instansi bernama Dinas kebudayaan dan Pariwisata di negri ini, khususnya di Jawa Timur hanya mendjadi semacam biro penjualan tiket masuk ke: gua, pantai, candi. Jangan sampai hanya mau sesekali nanggap wayang, ludruk, kentrung, sambil merasa telah ikut menjaga dan mengembangkan warisan budaya bernama kesenian tradisional itu. Adalah kecelakaan budaya jika kita tidak mampu dengan benar merawat warisan dan gagal menciptakan iklim yang baik bagi dunia kreasi, penciptaan, bagi generasi terkini. Dan perlu dicatat pula, Arisan Sastra ini sekaligus juga dapat dipandang sebagai salah satu obat antidehidrasi (menghindarkan kelumpuhan kultural masyarakat) di tengah-tengah banjir limbah peradaban dunia.

Pada akhirnya saya hanya ingin mengatakan, bolehlah Dewan Kesenian Jawa Timur tidak tahu bahwa di Trenggalek juga ada Dewan Kesenian (Kabupaten Trenggalek). Tetapi, kini ada harapan untuk menuju apa yang bisa saya katakan dengan: ’’tidak ada yang salah dengan kesenian di Trenggalek.’’

Arisan Sastra ini penting untuk terus dipacu dan dikembangkan sebagai oase budaya di Trenggalek, dan tidak perlu digiring menjadi koperasi. Karena itulah disamping Nurani Soyomukti yang menjadi tumpuan utama keberlangsungan gerakan ini, saya mengusulkan Tony Saputra untuk dukukuhkan sebagai Bupati Penyair Trenggalek. Setuju, ya? [Bonari Nabonenar, peserta Arisan Sastra Trenggalek].

[Radar Surabaya, 18 April 2011]

INDONESIA YANG MEMBUKA PIKIRAN DAN MENERIMA PERBEDAAN


Masalahnya, Indonesia adalah sebuah negara-bangsa yang oleh pendirinya dimaksudkan sebagai bangsa yang masyarakatnya terbuka. Tanah Dwipantara dan Nusantara yang kemudian bernama Indonesia ini telah menerima cara berpikir apapun, mulai animisme, dinamisme, kepercayaan pada dewa-dewa, agama Hindu, Budha, Kristen, Katholik, Konghucu, bahkan juga orang-orang yang tak peduli pada agama dan tak percaya pada agama. Maka inilah pluralisme di bawah lindungan dasar Negara Pancasila, dengan mengadopsi nilai-nilai lokal yang arif disinergikan dengan ajaran HAM (hak asasi manusia) dan demokrasi dari Barat. Sekulerisme juga dipilih karena agama adalah urusan pribadi dan tak bisa dicampuri. Negara juga harus diselamatkan dari dominasi agama tertentu secara formal. Kebebasan beragama dan berfikir dilindungi. Negara tak bisa (tak boleh) menghakimi, menilai, menghukum orang berdasarkan (identitas) agama dan sukunya. Siapapun orang yang baik harus dihormati, dan orang yang jahat harus dihukum. Sekali lagi, bukan karena identitas agama dan identitas suku atau kelompok atau alirannya. Orang yang rajin beribadah pun, yang rajin menyebarkan agama, yang oleh kelompoknya disanjung dan dihormati, kalau melakukan perbuatan jahat atau memprovokasi perbuatan jahat (merusak dan melakukan pengebom) juga ditangkap pihak berwenang dan diadili di depan hukum. Tak kenal orang yang rajin beribadah dan fanatik beragama, kalau korupsi juga akan berhadapan dengan hukum—lepas dari masih kurang bagusnya budaya hukum kita.

Kita beruntung bisa hidup di negeri demokratis dan berdasar hukum sekuler ini. Sebab kecil kemungkinan orang menggunakan hukum tuhan (hukum negara yang berdasarkan agama tertentu) untuk dijadikan oleh elit tertentu yang dianggap punya otoritas agama yang paling kuat untuk menghukum manusia menurut penafsiran manusia atas ajaran Tuhan. Dan karena negara adalah pemegang otoritas dan monopoli kekuasaan, akan bahaya jika orang yang mengatasnamakan Tuhan (agama) menjadi algojo atau polisi moral atas perbuatan orang lain dan rakyatnya.

Inilah untungnya dipisahkan antara agama dan negara secara formal—meski secara substansial tak dipisahkan. Tuhan tak perlu kawatir namanya diperalat oleh para pemimpin dan pejabat negara untuk menghukum atas perbuatan di dunia. Dan Tuhan justru bahagia karena suatu masyarakat mau menjalani proses dan mau berikhtiar untuk menafsirkan dan mengkreasi hukum-hukum dunia yang digunakan untuk mengatasi masalahnya sendiri. Manusiapun bisa menggunakan karya Tuhan (akal dan kerjanya) untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Di sinilah manusia benar-benar berhubungan dan berproses dengan manusia lain dan alam, sebagai ujian Tuhan.

Kita beruntung sekalu hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena masyarakat kita sangat terbuka pada perbedaan. Maka disinilah kita harus memanfaatkan keterbukaan ini untuk memaksimalkan cara berpikir dan akal sehat kita. Kita sudah diberikan ruang yang terbuka. Tinggal kita mau memanfaatkannya atau tidak!!! [*]

RUANG SEMPIT DAN MENEKAN MELAHIRKAN PIKIRAN SEMPIT

Kenapa seringkali tindakan yang tidak masuk akal yang menghasilkan kerusakan, kejahatan, dan keanehan? Dan kenapa kebanyakan orang hanya ikut-ikutan dan seakan masyarakat kemudian menjadi satu dimensi? Konon ruang demokrasi sudah dibuka, tetapi kenapa tidak menghasilkan kreativitas sikap dan tindakan, gaya hidup dan pemaknaan yang mendalam antara masing-masing orang yang berbeda baik secara individu maupun kelompok? Tentu karena orang yang tidak berpikir (terbuka) biasanya hanya bergerak atas perasaan saja. Sementara perasaan adalah tempat manipulasi sesuatu dari luar.

Lihatlah kenapa anak-anak kecil di kantong perlawanan atas nama agama diajari menembak dan merakit bom, didoktrin untuk melakukan bunuh diri membawa bom di Irak, Afghanistan, dan lain-lain. Sejak kecil mereka dibentuk untuk membesar-besarkan perasaan, yaitu perasaan kebencian, dan bukan akal sehat. Mereka didoktrin dengan pikiran berpikir sempit dan dangkal. Orang-orangtua di sekitar mereka, mungkin bukan orangtua asli tetapi orang yang lebih tua yang sedang membangun pasukan berani mati, hanya mengajari mereka bagaimana kelompoknya menang dengan jalan perang (dengan jani-janji surga, dll).

Tentu saja dari segi perasaan dalam diri, semangat mereka membara. Tetapi dasar berpikir mereka jelas sempit karena diisi oleh doktrin-doktrin sempit penafsiran agama. Mereka tak pernah menggunakan otak dan akal sehat pikirannya untuk mengarah pada pertanyaan alternatif: “Kenapa harus berperang? Apakah perang ini adalah takdir dan perintah, ataukah lahir dari situasi lingkungan tertentu? Kenapa anak-anak seperti kami harus memusuhi orang lain pada saat anak-anak di dunia lain harus belajar? Benarkah ajaran agamaku berisi perang dan kekerasan?”

Memang anak-anak kecil sulit otaknya masih mudah diisi. Apalagi yang mengisi adalah orang-orang yang ingin menghabiskan hidupnya untuk perang atas nama agama. Anak-anak seperti di Jalur Gaza yang menjadi perebutan Israel dan Palestina, tak ada lagi pilihan. Sekolah-sekolah dihancurkan, mereka tak bisa belajar. Orangtuanya dibunuh oleh penjajah yang oleh teman-teman orangtuanya dan orang-orang sekitarnya diidentifikasi berdasarkan agamanya. Akhirnya mereka terbiasa menganalisa sesuatu berdasarkan cara berpikir tafsir agama yang diajarkan orangtuanya. Ajaran itu adalah bahwa agamanya adalah agama perang dan dengan perang pulalah Kejayaan Agama mereka bisa diraih.

Ideologi dari wilayah seperti itu telah berusaha diimpor ke daerah-daerah lain, negara-negara lain, kawasan lain. Dari lingkungan yang membuat orang berpikir sempit dan lingkungan yang membuat orang hanya tahu permusuhan atas nama kebenaran tafsir agama kelompok dan alirannya itulah, ideologi sempit keberagamaan menyebar dan datang, termasuk di Indonesia.*

KERUGIAN PERSONAL DAN SOSIAL DARI BERPIKIR SEMPIT!

Semakin pikiran terbuka dan berpikir mendalam, terbuka kemungkinan lain dalam menyikapi hidup! Berpikir terbuka dan mendalam membuat kita tidak hanya meniru-niru, bisa memaknai hidup secara lebih autentik. Berpikir salah kadang mendorong tindakan yang salah. Tindakan kekerasan, tindakan yang beresiko merugikan diri sendiri dan orang lain, seringkali lahir dari pemikiran yang salah. Tindakan kekerasan tentu lahir dari orang yang emosi (perasaannya) banyak mengendalikan, marah, kalap, dan saat melakukannya tak menggunakan otak (akal pikiran). Kata Mahatma Gandhi: “Kekerasan adalah senjata terakhir bagi orang yang jiwanya lemah”.

Jiwa yang tidak didukung oleh akal sehat, hanyalah jiwa yang hanya ikuti perasaan saja (tanpa akal sehat), yang mungkin memberi spirit seakan menguatkan jiwa dalam pribadi seseorang, tetapi secara social berakar pada kerapuhan jiwa. Lihat saja, para teroris pelaku bom dilihat dari personalitas dan spiritualitas perasaannya sangat kuat ke dalam diri sendiri, sehingga semangat hidupnya besar sekali dalam melakukan tindakan teror, meledakkan gedung dan bangunan-bangunan yang dianggapnya milik “musuh” kelompoknya (yang dianggap “kafir” berdasarkan penafsiran sempit atas agamanya).

Dalam masyarakat yang masih terbelakang, disadari atau tidak, manipulasi dan kebohongan atau desain perasaan dari luar, yang kadang juga dibantu dengan ilusi/khayalan, hanya bisa dibongkar dan dikuak oleh pemikiran objektif, terbuka, dan kritis. Anda merasa paling benar, kemudian anda mengambil sikap terhadap orang lain. Perasaan anda jelas akan membawa dampak pada hubungan anda dengan orang lain. Ambil contoh, anda memegang ajaran agama fanatic, dan anda menganggap ajaran agama anda yang paling benar untuk menyalahkan orang lain yang anda anggap dengan ajaran agama anda. Mungkin anda hanyalah penafsir agama sempit yang bisa jadi sikap dan perbuatan atas keberagamaan anda sama sekali salah bahkan menurut agama anda sendiri.

Bahkan bisa jadi agama anda jauh lebih buruk dari pada agama orang lain. Jadi kenapa kok tidak berusaha mendalami ajaran agama selain agama anda sendiri, dengan perasaan terbuka mau masuk pada cara piker orang dari kelompok agama lain. Kenapa tidak? Jujur saja, anda memeluk ajaran agama karena warisan orangtua anda yang ditetapkan lewat surat identitas waktu anda masih Balita yang saat itu anda tak bisa memilih dan menerima agama berdasarkan pilihan Anda secara merdeka, pikiran terbuka, dan alasan yang memungkinkan memilih didasarkan pada suatu hal yang masuk di akal.*

KENAPA NEGARA HARUS MENJAMIN HAK-HAK RAKYAT UNTUK BERKESENIAN?

Oleh Nurani Soyomukti

Bagi banyak orang barangkali Kesenian adalah masalah rasa, masalah “klangenan”, masalah keindahan yang menggetarkan dan memicu perasaan jiwa. Kesenian adalah hasil dari kreativitas manusia, meniru alam yang pada dasarnya indah dalam penampakan, merdu dalam pendengaran, dan gemulai dalam gerak.


Di alam ada suara angin yang mendesis, bunyi hujan, gemericik air, suara ombak, bunyi-bunyian yang dihasilkan dari dialektika alam (dialectic of nature—meminjam kata Frederick Engels); ada kontras susunan material dan zat-zat yang kadang membentuk keindahan hakiki; keindahan rupa pada perempuan cantik dengan pipi kemerahan dan kulit sawo matang yang memakai pakaian yang memperindah tubuhnya; apalagi gaya bicara yang menyusun keindahan. Semua ini adalah hak alam yang kemudian diambil oleh manusia untuk ditirukan. Tak heran jika seni pada dasarnya adalah “mimesis”, tindakan menirukan alam.

Dari alam, dengan sejarah perjalanannya yang panjang bersamaan dengan penemuan-penemuan dan pengalamannya berhadapan dengannya, manusia menghasilkan berbagai bentuk kreativitas gerak, suara, rupa yang kemudian menjelaskan bagaimana kesenian dapat disebut sebagai hasil peradaban yang bisa membanggakan eksistensi manusia. Kesenian adalah kebutuhan penting, tentunya setelah kebutuhan yang lebih dasar bisa terpenuhi. Hak berkesenian, sebagaimana hak untuk menunjukkan diri dengan cara mencipta dan berkreasi, adalah hak universal.

Jadi tak mengherankan jika Negara (pemerintah pusat dan daerah) harus menjamin terpenuhinya hak-hak berkreativitas seni di kalangan rakyatnya.*

Jumat, 20 Januari 2012

TUBUH RATU KECANTIKAN VS TUBUH BURUH FREEPORT

Oleh Nurani Soyomukti


Ini adalah era krisis kapitalisme yang dipenuhi krisis moral—dan yang penting adalah adanya krisis (eksistensi) diri. Bagaimana seseorang memaknai keberadaan dirinya, kapitalisme telah membentuk sedemikian rupa sehingga eksistensi diri sesuai dengan kebutuhan masyarakat pasar.
Konsep cantik masih didominasi bentuk muka berwajah mirip Indo, karena kapitalisme berasal dari Barat, modal Barat, sehingga kelas (kapitalis) yang mendominasi pemaknaan membuat Indo menjadi parameter dan standar estetika wajah. Apalagi kalau wajahnya unik, campuran Indo dan pribumi, maka tipe seperti inilah yang laku di pasar kecantikan—dengan jagat hiburan (entertainment), yang kita bisa lihat melalui TV.

Setelah wajah, tentu adalah ‘body’. Seksi itu menarik, ramping membuat percaya diri, dan gemuk menyibukkan karena harus membuat mereka diet, ikut fitness, aerobic, dan ini memakan waktu—pada hal di jagat persaingan pasar tubuh yang ketat, waktu adalah uang.

Atau yang jelas, cantik itu tergantung bagaimana mereka mendandani dan menghiasi tubuh. Baju yang bagus, baju yang cocok, yang tentu saja harganya mahal! Make up yang berkualitas—seperti Krisdayanti yang konon biaya make-up per minggunya puluhan juta rupiah. Dan kalau mau jujur, artis-selebritis itu sebenarnya juga manusia biasa yang cantiknya sebenarnya ya ‘kayak’ perempuan-perempuan yang biasa kita jumpai baik di desa atau kota. Tetapi yang pasti bahwa mereka cantik karena make-up, saat tampil di public mereka tak mau jika tanpa make up dan dalam keadaan ‘well-dressed’. Ada artis yang kadang muncul di infotainment tampil tanpa make-up, mungkin kurang persiapan atau karena wartawan infoteinmen datang ‘dadakan’ hingga si artis yang diwawancarai tak sempat berdandan: Yang kita lihat, ya ampun!, mereka juga kelihatan jelek, bahkan dalam keadaan alami kalah cantik dengan gadis-gadis atau perempuan tetangga kita—bahkan kalah cantik dengan gadis-gadis di kampung kita!

Jadi, kecantikan dalam pasar kapitalistik hiburan atau parade tubuh itu tak lebih dari: Rekayasa! ‘Image engineering’, rekayasa citra! Mereka tak lebih dari produk yang harus didandani supaya laku di pasar hiburan… terutama dunia seni selebritas. Tubuh mereka tak lebih dari barang dagangan (commodity), dijual untuk mendapatkan uang/upah. Kalau dipikir secara hakiki, sama saja kan dengan pelacur. Pelacur memperdagangkan tubuh, mungkin lebih banyak menggunakan vaginanya. Tapi toh itu juga bagian tubuh seperti tangan, kaki, wajah, payudara, mulut, rambut, mata, pantat, dll. Bahkan otak yang ada di dalam kepala!

Dengan mempkerjakan tubuh atau bagian tubuh itulah orang mencari uang, mendapatkan upah… semua orang. Mulai pengarang seperti saya yang menguras otak dan menggerakkan jari. Petani yang mengayunkan cangkul dan memetik buah. Buruh yang di mencetak produk di pabrik. Nelayan yang melempar sauh dan menebar jaring di laut. Pembantu rumah tangga yang berada di rumah orang lain atau majikannya. Penyanyi dangdut yang menggunakan ‘bokong’-nya. Penyanyi pop yang menggunakan mulut, tenggorokan, dan nafasnya untuk menghasilkan suara; toh juga yang hanya mengandalkan penampilan fisik, meskipun suaranya pas-pasan.

Itu semua yang disebut kerja. Kerja adalah menggunakan tubuh untuk melakukan aktifitas tertentu guna menghasilkan sesuatu. Kerja kebanyakan adalah kegiatan produksi, untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi dirinya, mempertahankan kelangsungan hidup dan mengembangkan kehidupannya, eksistensi dirinya, dengan pemaknaan sesuai dengan pengalaman dan bentukan sosial masyarakat.

Tetapi kerja tubuh yang berada dalam masyarakat kapitalis—yang ekploitatif dan menghisap—dalam banyak hal justru menyangkal eksistensi diri, hingga makna diri kadang hilang. Makna itu dibentuk oleh suatu keadaan, tetapi makna kadang independen dari keberadaan dan posisi dalam kehidupan. Kerja kadang menyangkal hakekat, makna, dan eksistensi diri. Karl Marx, dalam karyanya ’Manuskrip Ekonomi dan Filsafat’ adalah seorang filsuf yang memahami betul bahwa kerja semacam itu merupakan kerja yang mengasingkan (alienating work).

Makna alienasi kerja, menurut Marx, adalah: bahwa kerja bersifat eksternal bagi pekerja, bahwa kerja bukan bagian dari wataknya; dan bahwa, sebagai akibatnya, dia tidak bisa memenuhi dirinya dalam kerja.

Kerja seperti itu tidak berdasarkan kebebasannya sebagai spesies tetapi telah tereduksi demi aktivitas yang tertukar dengan uang, apalagi uang (upah) yang didapat bahkan tak bisa mencukupi kebutuhannya—tak mampu menyangga eksistensi materialnya yang paling pokok saat upah yang didapat tak cukup untuk digunakan mencukupi kebutuhan-kebutuhan pokok. Bagaimana manusia bisa melangkah pada kebutuhan yang bersifat estetis dan spiritual, seperti membuat puisi dan mengekspresikan diri dalam seni-sastra, atau menjalankan keberagamaan dengan penuh makna dan tak termanipulasikan jika ia harus masih menjawab kebutuhan-kebutuhan pokok agar bisa bertahan hidup. Bagaimana manusia bisa mencintai secara tulus (truthfull, sincere, no pretention) jika pola hubungan eksploitatif, materialisme, kepemilikan pribadi, yang menyebabkan keterasingan itu begitu kuat mengikat hubungan satu sama lainnya?

Marx menguak kontradiksi material sebagai penyebab alienasi dan manipulasi hubungan, yaitu kontradiksi dalam hubungan kerja yang memang menjadi penyangga hubungan yang bersifat sosial, budaya, dan politik. Karena kontradiksi material dalam kerja itulah yang membuat pekerja tidak menjadi subjek atas dunianya, tetapi menjadi objek atas dunianya sendiri; bukan untuk pemenuhan dan ungkapan individualnya yang sejati, tetapi untuk wilayah eksternalnya, mungkin untuk orang lain yang membayarnya. Aktivitas yang bukan dari (dan demi) dirinya sendiri adalah aktivitas yang teralienasi. Marx menganggap alienasi aktivitas praktis manusia, kerja, berasal dari dua aspek: pertama, hubungan pekerja dengan produknya sebagai objek asing yang menguasainya. Hubungan ini pada saat bersamaan merupakan hubungan dengan dunia eksternal, dengan benda-benda alam, sebagai dunia yang asing dan memusuhi.

Kedua, hubungan kerja dengan tindakan produksi dalam kerja. Ini merupakan hubungan kerja dengan aktivitasnya sendiri sebagai sesuatu yang asing dan tidak menjadi miliknya, aktivitas yang menderita (pasivitas), kekuatan sebagai ketidakberdayaan, penciptaan sebagai pengebirian, energi fisik dan mental pekerja, kehidupan pribadinya (apa itu hidup kalau bukan aktivitas?) sebagai sebuah aktivitas yang ditujukan untuk melawan dirinya, independen darinya dan tidak menjadi miliknya.

Kontradiksi pada hubungan kerja itulah yang membuat yang terhisap selalu melawan. Itulah yang membuat para pekerja PT Freeport mogok kerja dengan tuntutan kenaikan upah. Kelas pekerja (buruh) ingin menegaskan eksistensi dirinya dengan merayakan Hari Buruh Internasional (tiap 1 Mei) dengan melakukan aksi massa. Ini terjadi di berbagai negara di belahan dunia. Aksi buruh belakangan ini juga marak terjadi di Wall Street Amerika Serikat (AS), dan berbagai negara Eropa. Mereka ingin menegaskan bahwa mereka adalah kelas yang sehari-hari berada di tempat kerja, tetapi hingga kini mereka tak mendapatkan apa-apa. Mereka ingin tubuh dan kerja mereka dihargai. Mereka merayakan tubuhnya dengan membanjiri jalanan-jalanan kota, membawa tuntutan-tuntutan agar tubuh dan kerja mereka dihargai selayaknya manusia!*


Esai dimuat di Rubrik RUANG PUTIH, JAWA POS edisi Minggu, 16 Oktober 2011

FESTIVAL LITERASI 2011

3. Acara FESTIVAL LITERASI 2011 adalah acara peringatan Hari Literasi Dunia (International Literacy Day) yang jatuh tiap tanggal 8 September 2011. Acara ini ditetapkan sebagai acara tahunan QLC yang terdiri dari berbagai kegiatan yang berkaitan dengan (peningkatan) budaya literasi di trenggalek khususnya dan Indonesia pada umumnya. Acara Festival Literasi 2011 kali ini dilaksanakan agak mundur mengingat persiapan dan juga berbagai kondisi yang ada. Kegiatan Festival Literasi 2011 kali ini telah dan akan diadakan dengan berbagai kegiatan antara lain: QUANTUM LITERA CENTER (QLC) TRENGGALEK—TRENGGALEK STREET PHOTOGRAPHY—ARISAN SASTRA BULANAN TRENGGALEK—REBORN FAMILY
(Pameran Produk Lierasi karya Putra-Putri Trenggalek, Pameran Foto, Lukisan, Bazar Buku, Diskusi Seni-Budaya, Arisan Sastra, Bedah Buku)

1. Acara ini dilaksanakan oleh komunitas masyarakat bernama Quantum Litera Center (QLC) bekerjasama dengan beberapa komunitas dan kelompok belajar (Trenggalek Street Photography, Arisan Sastra Bulanan Trenggalek, dan Reborn Family).

2. Quantum Litera Center (QLC) adalah komunitas atau lembaga yang didirikan untuk meningkatkan budaya literasi (baca-tulis) di kalangan masyarakat khususnya generasi muda, dengan berbagai kegiatan yang diadakan seperti diskusi, diklat, seminar, lomba menulis, sekolah menulis, penelitian budaya literasi, mendorong guru dan masyarakat agar menulis dan diterbitkan atau dimuat dimedia, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Kegiatan rutin yang dilakukan adalah Arisan Sastra Bulanan yang akan berlangsung ke-14 kalinya pada Hari Minggu 20 November 2011 yang jadi bagian dari acara Festival ini. QLC digagas oleh para penulis, pendidik, budayawan, aktivis mahasiswa, pelajar yang punya visi yang sama yaitu pencerahan masyarakat melalui budaya literasi (baca-tulis), beberapa di antara pendirinya punya keresahan yang besar terhadap dominasi budaya tonton yang semakin menjauhkan generasi dari berfikir kritis dan yang melahirkan gaya hidup pragmatis, oportunis, hedonistik, konsumeristik, dan melemahkan karakter generasi.

3. Acara FESTIVAL LITERASI 2011 adalah acara peringatan Hari Literasi Dunia (International Literacy Day) yang jatuh tiap tanggal 8 September 2011. Acara ini ditetapkan sebagai acara tahunan QLC yang terdiri dari berbagai kegiatan yang berkaitan dengan (peningkatan) budaya literasi di trenggalek khususnya dan Indonesia pada umumnya. Acara Festival Literasi 2011 kali ini dilaksanakan agak mundur mengingat persiapan dan juga berbagai kondisi yang ada. Kegiatan Festival Literasi 2011 kali ini telah dan akan diadakan dengan berbagai kegiatan antara lain:
1. Seminar Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan Sejarah, IPS, dan PPKn, Minggu 30 Oktober 2011 di Aula Kampus STKIP PGRI Trenggalek;

2. Pameran Produk Literasi karya Pekerja Literasi (individu dan lembaga) di Trenggalek, dalam acara ini setiap orang (individu) dan lembaga yang punya produk literasi (terbitan berupa buku, koran, majalah, tabloid, dan terbitan apapun) diharapkan memamerkan karyanya di stand yang disediakan oleh panitia.

3. Pameran Foto, yang memamerkan foto-foto karya para fotografer Trenggalek;

4. Pameran Lukisan, yang memamerkan lukisan kali ini pelukis Andreas Winarso dari Jakarta dan beberapa pelukis Trenggalek;

5. Bazar Buku, yang menjual buku-buku dari berbagai tema dengan harga diskon, sebagian juga buku karya penulis Trenggalek yang telah menulis beberapa buku seperti Nurani Soyomukti (penulis 23 buku bertema pendidikan, sejaraj, sosial, budaya, dan politik) dan Ngainun Na’im (penulis buku-buku pendidikan dan pemikiran Islam).

6. Acara Pengumuman dan penyerahan hadiah Loma Menulis Cerpen dan Puisi tingkat Pelajar yang diadakan QLC (Quantum Litera Center) Cabang Panggul

7. Bedah Buku karya penulis Trenggalek;

8. Pentas Sastra dan Arisan Sastra Bulanan, yang akan dihadiri para sastrawan, peminat sastra, apresiator dan penonton sastra dari Trenggalek dan berbagai kota/kabupaten (Jombang, Surabaya, Ngawi, Ponorogo, Tulungagung), dengan sajian antara lain: Musikalisasi Puisi, Baca Puisi, Cerpen, Dongeng, Orasi Kebudayaan, dll.

Acara ini bersifat terbuka, dan justru itu acara ini dilaksanakan di Ruang Publik, yaitu halaman sebelah Barat Alun-alun Kabupaten Trenggalek.


TAHUN BARU 2012 MASIH DALAM KEGELAPAN

Oleh NURANI SOYOMUKTI

Bangsa ini juga ikut merayakan tahun baru 2012 dengan berbagai macam perayaan, terutama meniup terompet dan menyalakan kembang api di detik pergantian tahun. Hampir semua pihak yang bersuara mengajak kita optimis untuk menghadapi tahun baru penuh harapan. Tentunya gelora semangat ini bisa muncul bersamaan dengan perayaan pergantian tahun
Gelora optimisme akan segera pudar begitu terompet dibuang. Karena tahun lalu kita dihadapkan pada situasi yang tingkat keparahannya luar biasa. Apatisme meraja-lela sebab tahun-tahun telah berganti, decade-dekade berubah, tetapi nasib rakyat tak berubah, bahkan kian memburuk. Korupsi masih belum bisa diberantas, kekerasan masih Berjaya, konflik masih meraja, atas nama agama dan prasangka kelompok. Prasangka adalah penyakit tersendiri yang menyebabkan orang tak bisa memahami keadaan secara objektif. [---]

Minggu, 15 Januari 2012

DEGRADASI PERAN DAN KUALITAS DOSEN

Oleh Nurani Soyomukti


Sebagai pengajar di perguruan tinggi, dosen adalah mereka yang menjadi penjaga utama (avant garde) dari aktivitas ilmiah di kampus. Lebih jauh, sebagai tenaga pengajar, dosen diharapkan memiliki kekuatan transformatif (transforming power) dalam dunia pendidikan kampus dan di masyarakat.


Meskipun tidak boleh dikatakan sebagai satu-satunya kalangan yang memiliki banyak stock of knowledge, dalam kegiatan perkuliahan, pengajar adalah yang paling penting dalam membentuk semangat akademik bagi para mahasiswanya. Dalam getok tular ilmu pengetahuan dan logika berpikir, bagaimanapun, peran dosen tidak bisa dianggap remeh. Sehingga, mereka harus memiliki banyak wawasan, produktif dan kreatif dalam aktivitas ilmiah, serta memiliki penguasaan untuk mencetak mahasiswa yang berwawasan dan tekun dalam menjalani aktivitas ilmiah di kampus (dan berperan dalam masyarakat).

Pada kenyataannya, seorang akademisi juga mereka yang memiliki peran luas dalam masyarakat dengan menggunakan kemampuan ilmiahnya untuk menganalisis dan memberikan solusi bagi persoalan masyarakat. Dalam hal ini, posisi akademisi juga dipadang sebagai wakil dari universitas (kampus) di mana dia melakukan aktivitas keilmuannya. Kualitas kampus bisa dilihat dari kualitas para akademisinya. Misalnya, semakin banyak akademisi yang digunakan di masyarakat seperti sering diundang di seminar, diwawancarai oleh pers, menulis di media, dan lain-lain—atau intinya memberikan pencerahan bagi masyarakat baik di dalam maupun di luar kampus (masyarakat)—maka semakin besar pula posisi dan peran kampus tersebut dalam masyarakat.

Minimnya Penelitian

Mengharapkan peran semacam itu, tampaknya kini semakin ada penurunan kualitas di kalangan dosen-dosen kita. Kegairahan ilmiah dan ketertarikan pada aktifitas akademis tampaknya semakin berkurang. Bukan hanya mahasiswa yang kian kurang tertarik pada budaya ilmiah, godaan budaya pasar yang kapitalistik juga membuat dosen hanya memaknai profesinya sebagai status untuk mencari uang dan mengejar kebutuhan-kebutuhan instan.

Kenyataan lainnya adalah minimnya kegiatan riset yang dilakukan oleh dosen di berbagai perguruan tinggi Indonesia. Penelitian yang dilakukan dosen yang mengajar di perguruan tinggi negeri dan swasta masih rendah. Jumlah dosen yang tercatat meneliti belum mencapai 10 persen dari sekitar 150.000 dosen tetap di perguruan tinggi negeri dan swasta di seluruh Indonesia.

Sebagaimana dikatakan Fasli Jalal, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, dalam rapat kerja Komisi X bersama Menteri Negara Riset dan Teknologi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, serta Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian di Jakarta beberapa waktu lalu: Penelitian dosen kita masihlah rendah. Ditunjukkan data bahwa baru sekitar 12.000 dosen yang terdata melakukan penelitian. Akibatnya, penerbitan jurnal ilmiah kita juga rendah. Sejauh ini kontribusi Indonesia baru 0,8 artikel per satu juta penduduk. Angka tersebut jauh dibandingkan dengan India yang penduduknya berjumlah 1,1 miliar, kontribusinya mencapai 12 artikel per satu juta penduduk (Kompas, 11/12/2008).

Minimnya kegiatan riset dan kegiatan ilmiah di kampus akan menyebabkan kampus semakin konservatif karena kampus adalah salah satu lembaga yang berkaitan dengan struktur kekuasaan di mana pendidikan seringkali dijadikan alat hegemoni bagi negara dan pasar.

Sebenarnya kampus kita belum bisa dikatakan sepenuhnya modern dan profesional. Ini mencirikan birokrasi pendidikan Indonesia yang masih kolot dan dipenuhi KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Kampus seperti lembaga pendidikan di jaman feodal kerajaan di mana birokrasinya diatur secara—dalam pengertian Weber—tidak rasional. Seakan kampus berada dalam masyarakat yang masih feodal (bercorak produksi tanah atau pertanian).
Corak produksi tanah tentunya adalah susunan masyarakat pra-modern (pra-ilmiah) karena tidak ada perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, tapi hanya berupa masyarakat yang kebutuhan rakyat jelata ditekan, sederhana, tingkat produktifitasnyapun sederhana, tetapi harus diberikan—atau hasilnya harus diserahkan (surplus values)—pada penguasa yang hidup bermewah-mewah dalam istana (yang dilengkapi taman bermain sendiri, makanan-minuman enak-enak, pakaian dan aksesoris bagus, kolam renang yang indah, bahkan wanita-wanita pelayan dan gundik-gundik).

Makanya, tahap masyarakat feudal ini adalah masyarakat yang memanipulasi pengetahuan masyarakat karena didominasi oleh ideologi ketertindasan dan ketertundukan. Jaman feudal telah hancur oleh masa renaisans (pencerahan) atau aufklarung yang membawa paham baru yang bertujuan untuk mewujudkan kesetaraan antar manusia, yang salah satunya kini muncul dalam bentuk lembaga ilmu pengetahuan seperti universitas.

Feodalisme menempatkan pendidikan sebagai hak para bangsawan dan keluarga istana agar mereka mendapatkan pengetahuan tentang ketatanegaraan, teknik perang, dan juga wawasan-wawasan pengetahuan dan kesusastraan. Para keturunan bangsawanlah, dan bukan rakyat, yang mendapatkan pendidikan tersebut karena mereka adalah pewaris tahta kerajaan dan kekuasaan kerajaan. Tanah dan wilayah teritorial dan segala kekayaannya adalah milik Dewa yang diwakilkan pada raja, keluarga dan keturunannya sebagai pemegang sah hak milik. Rakyat jelata adalah pelayan yang harus bekerja keras, membayar upeti dan dimobilisir dalam perang melawan kerajaan lain atau pemberontak.

Jelas, sebagai institusi modern yang lahir dari rahim peradaban pencerahan, kampus bukanlah kerajaan. Maka masih banyak kecurangan yang terjadi dalam rekrutmen pegawai kampus termasuk staf pengajar (dosen) tersebut yang bersifat feudalistik tersebut. Bahkan dikabarkan isu ini telah meluas di masyarakat, dan sebagian mahasiswa juga akan melakukan aksi demonstrasi lagi untuk mencabut keputusan sepihak birokrasi untuk me-goal-kan calon dari kelompok dan keluarganya itu. Gejala ini perlu dicermati dan diatasi. Kampus sebagai miniatur kehidupan demokrasi (modern) membutuhkan kedewasaan dan kecerdasan berpikir dan bertindak dari para anggotanya.***

TAHUN BARU 2012 MASIH DALAM KEGELAPAN

Oleh NURANI SOYOMUKTI


Bangsa ini juga ikut merayakan tahun baru 2012 dengan berbagai macam perayaan, terutama meniup terompet dan menyalakan kembang api di detik pergantian tahun. Hampir semua pihak yang bersuara mengajak kita optimis untuk menghadapi tahun baru penuh harapan. Tentunya gelora semangat ini bisa muncul bersamaan dengan perayaan pergantian tahun.
Gelora optimisme akan segera pudar begitu terompet dibuang. Karena tahun lalu kita dihadapkan pada situasi yang tingkat keparahannya luar biasa. Apatisme meraja-lela sebab tahun-tahun telah berganti, decade-dekade berubah, tetapi nasib rakyat tak berubah, bahkan kian memburuk. Korupsi masih belum bisa diberantas, kekerasan masih Berjaya, konflik masih meraja, atas nama agama dan prasangka kelompok. Prasangka adalah penyakit tersendiri yang menyebabkan orang tak bisa memahami keadaan secara objektif.

Tidak memahami situasi sama saja dengan menjadi buta akan apa yang sedang terjadi di masa depan. Para pimpinan dan elit tampaknya juga dijangkiti subjektivisme kepentingan. Pertama-tama, mereka tak bisa memahami dengan pikiran dan hati nurani bahwa tuntutan rakyat akan kesejahteraan adalah hal yang mendesak. Itu terjadi karena mereka berada dalam lingkaran setan kekuasaan politik yang tidak memungkinkan mereka menggunakan hati dan pikiran. Politik berbiaya tinggi yang menuntut politisi mengembalikan modal, tuntutan mencari biaya politik partai politik (parpol) dari uang Negara, kesibukan dalam menjalankan permainan politik, membuat mereka tak lagi bisa memikirkan tuntutan rakyat.

Negara benar-benar menjadi alat bagi kelas berkuasa. Negara tak hadir saat umat beragama dan penganut kepercayaan terancam haknya untuk membangun tempat Ibadah… Negara tak hadir saat sekelompok orang atas nama agama memukuli, menganiaya, dan merusak atau membunuh… Negara tak hadir saat rakyat butuh kesejahteraan, subsidi malah dicabut, korupsi malah dibiarkan… Negara hadir saat ia harus meminta rakyat membayar pajak

Negara hadir saat kapitalis, kaum modal, dan pengusaha diprotes oleh rakyat. Bahkan Negara rela mengerahkan pasukan tentara dan polisi untuk menembaki rakyatnya, hanya untuk membela pengusaha yang merugikan rakyat, yang menggusur tanah rakyat dan merusak lingkungan rakyat. Negara hadir untuk membantu perusahaan yang bangkrut, seperti memberi talangan dana (bail out) pada bank-bank bangkrut. Hal ini nyata dalam kasus Bank Century!Negara menolong penumpuk modal, tetapi tak pernah mengurusi nasib rakyat.

Meneropong Ruang-Waktu

Ya, tahun baru akan segera tiba. Bisakah kondisi buruk masa lalu kita hindari bersamaan dengan pergantian tahun? Bisakah pergantian waktu mengantar kita pada kehidupan yang lebih baik? Ataukah—sebagaimana dikatakan Martin Heidegger—akan terjadi lagi “rahasia waktu”, yakni risalah yang menuju kematian (Zeit zum Tode)?

Pandangan tentang perubahan, seperti yang dinyatakan dalam berlalunya waktu, dengan dalam merasuki kesadaran manusia. Inilah basis dari semua unsur tragis dalam kesusastraan, perasaan sedih karena berlalunya kehidupan, yang mencapai bentuknya yang paling indah dalam soneta-soneta Shakespeare, seperti yang satu ini, yang dengan gemilang menggambarkan satu rasa akan pergerakan waktu yang penuh keresahan: "Like as the waves make toward the pebbled shore/So do our minute hasten to their end; Each changing place with that which goes before/In sequent toil all forward to contend” ("Laksana ombak yang melaju ke pantai berpasir, demikianlah menit demi menit berpacu menuju kehancuran; semuanya bertukar tempat dengan para pendahulu, berturutan mereka menyeret diri ke dalam pertempuran").

Kemustahilan kita untuk membalik waktu tidak hanya berlaku untuk mahluk-mahluk hidup. Bukan hanya manusia, tapi bintang-bintang dan galaksi juga dilahirkan dan mengalami kematian. Perubahan berlaku untuk segala hal, tapi bukan hanya dalam makna yang negatif. Berdampingan dengan kematian, hadirlah kehidupan, dan keteraturan lahir secara spontan dari kekacauan. Tanpa kematian, kehidupan itu sendiri tidaklah akan dimungkinkan. Tiap orang bukan hanya sadar akan dirinya sendiri, tapi juga akan negasi dari diri mereka, dari batasan terhadap diri mereka sendiri. Kita berasal dari alam dan akan kembali ke alam. Kenapa takut dengan waktu? Seharusnya kita merencanakan ruang agar waktu tidak hanya meromantisir kejadian-kejadian, yang melupakan kita pada kenyataan yang sebenarnya.

Waktu adalah cara untuk menyatakan perubahan dalam keadaan dan pergerakan yang merupakan ciri tak terpisahkan dari materi dalam segala bentuknya. Dalam tata bahasa Inggris, kita memiliki tenses: past tense, future tense dan present tense. Penaklukan kolosal yang dilakukan akal manusia memungkinkannya untuk membebaskan dirinya sendiri dari perbudakan waktu, untuk mengatasi situasi kongkrit dan menjadi "hadir" ('present'), bukan hanya di sini dan sekarang, tapi juga di masa lalu dan di masa datang, setidaknya di dalam pikiran.

Menurut Allan Wood dalam bukunya “Reason and Revolt” (1999), waktu dan gerak adalah dua konsep yang tidak terpisahkan. Keduanya hakiki bagi semua kehidupan dan semua pengetahuan di dunia, termasuk tiap perwujudan yang diambil oleh pikiran dan khayalan. Pengukuran, batu penjuru dari semua ilmu pengetahuan, akan mustahil tanpa ruang dan waktu. Musik dan tari didasarkan atas waktu. Seni sendiri mencoba mencapai satu rasa tentang waktu dan gerak, yang hadir bukan hanya diwakilkan oleh enerji fisik tapi juga oleh disainnya. Warna, bentuk dan garis dari sebuah lukisan membimbing mata melintasi permukaan dalam irama dan tempo tertentu. Inilah yang menumbuhkan rasa, ide dan emosi tertentu pada kita setelah kita menikmati karya seni tersebut. Keabadian adalah kata yang sering digunakan untuk menggambarkan berbagai karya seni, tapi justru sebenarnya menyatakan persis kebalikan dari apa yang dimaksudkan.

Kita tidak akan dapat merasakan ketiadaan waktu, karena waktu hadir dalam segala sesuatunya.

Ada satu perbedaan antara ruang dan waktu. Ruang dapat juga menyatakan perubahan, sebagaimana perubahan dalam posisi. Materi hadir dan bergerak melalui ruang. Tapi jumlah cara yang dapat dilalui oleh perubahan ini besar tak berhingga: maju, mundur, naik atau turun, dengan derajat apapun. Pergerakan dalam ruang juga dapat berlaku kebalikannya. Pergerakan dalam waktu tidak dapat diputar balik. Keduanya adalah dua cara yang berbeda (bahkan bertentangan) dalam menyatakan satu ciri yang hakiki dari materi—perubahan. Inilah satu-satunya Kemutlakan yang ada.

Ruang adalah "kembaran" materi, kalau kita pakai istilah Hegel, sementara ruang adalah proses di mana materi (dan energi, yang merupakan pernyataan lain materi) terus-menerus berubah menjadi hal yang lain daripada dirinya sendiri. Waktu – "api yang menelan kita semua"—biasanya dilihat sebagai suatu hal yang destruktif.

Maka demikianlah, tahun baru memang membawa harapan, setidaknya di angan-angan. Tetapi bisa menjadikan kita terperosok ke jurang kehancuran. Setidaknya kita tak melihat tanda-tanda akan adanya perubahan menuju kondisi yang lebih baik.***

GUNG LIWANG-LIWUNG NUMPANG LEWAT

Oleh: Nurani Soyomukti


Gung Liwang Liwung numpang lewat,
Rakyat sekarat!
Gung Liwang Liwung numpang lewat,
Politisi khianat!
Gung Liwang Liwung numpang lewat,
Anggaran disikat!
Berjalan di keramaian
Yang didapat hanya sepi
Sebab keramaian hanya fantasi

Berjalan di keramaian
Yang didapat hanya sunyi
Sebab cita-cita dicuri

Berjalanlah negeri berjalan
Semponyongan
Pengayuh becak sempoyongan
Pengayuh negeri sempoyongan
Pemberantas korupsi sempoyongan

Markus-markus gentayangan
Mafia dan DPR bergandengan
Politik anjing jalanan
Darah rakyat dihisap
Dagingnya dipotong-potong dan dimakan

Gung Liwang Liwung numpang lewat,
zombie-zombie berdebat di gedung perwakilan
setan-setan berdiskusi menguasai istana negara
Sepi sepi...
Sepisau sepi
Serisau Tarji,
penyair absurd
kebangaan negeri kusut!

Gung Liwang Liwung numpang lewat,
apa beda penyair dengan penjilat?
Memungut kata sampah mengumbar syahwat
Mengirimkan katakata tanpa alamat
Kebingungan dijajah kalimat-kalimat!

Gung Liwang Liwung numpang lewat,
berjalan mencari tuhan di jalanan sepi
mencari tuhan di masjidmasjid
Tidak juga ditemukan,
sebab tuhan adan di pabrik-pabrik dan di ladang-ladang
mengawasi buruh dan tani
dari gerbang dan pematang...

Gung Liwang Liwung numpang lewat,
langkah terseok musim kering
desa pertama luka menganga
desa kedua lumpur menyembur
desa ketiga gedung-gedung berjelaga
desa keempat menjadi kota,
toko-toko tertata dan diri tidak berharga
desa kelima menjadi metropolitan
kantor-kantor dihuni setan

Gung Liwang Liwung numpang lewat,
Gung Liwang Liwung terus berjalan
Kemana arah tujuan,
hanya satu kata: LAWAN!*)
Sekali berarti, setelah itu mati!**)

________
*) kalimat puisi Wiji Thukul
**) kalimat puisi Chairil Anwar


—karangsuko, trenggalek,
25/10/2011;21:44:23—



MELIHAT KELUAR DAN MELIHAT KE DALAM DIRI

Oleh: Nurani Soyomukti*)

Saat aku mengajak engkau bersuara dengan nada yang kritis dan membuka mata hati, bisa jadi ada orang yang menanggapi seperti ini: “Evaluasilah dirimu sendiri dulu sebelum bersuara!”. Ucapan tersebut ada yang bertujuan baik, tetapi juga ada muncul karena ia tak suka hal baru, bahkan menyukai keadaan yang ada karena sudah puas dengan yang diterimanya. Mungkin juga karena ia berposisi pada situasi di mana hal baru yang kita suarakan akan mengancam keadaannya yang biasanya lebih enak dari kebanyakan orang.
Maka jangan pedulikan, tetaplah bersuara. Dan memang perlu mengevaluasi diri, dan sangat perlu untuk mengevaluasi keadaan hidup di mana diri berpijak. Teruslah belajar memahami diri dan lingkunganmu. Jangan pernah takut untuk bicara.

Melihat diri sendiri tanpa menengok dunia luar akan membuat diri terlalu jauh meninggalkan realitas sebagai akar pembentukan keberadaan diri. Ssebagian besar bahan dan sumber masalah kita jelas tak berada di luar diri kita semata, tetapi dari luar. Evaluasi jelas menjadi kewajiban setiap diri. Tetapi kita jelas bukan berada di ruang kosong. Jiwa yang mudah renta dan lemah selalu terjadi tak ada sokongan sosial. Dan ijinkanlah aku selalu mengingatkanmu akan bahaya dari kepribadian yang cuek pada dunia luar dan tak berakar atau tumbuh dengan memberi keindahan pada pemandangan dunia luar.

Ijinkanlah aku mengingatkanmu bahwa engkau tak boleh semata menganggap bahwa nasib susahmu adalah takdir Tuhan dan karena kesalahanmu sendiri, seakan tak ada hubungan sosial dan seakan tak ada kebijakan di luar tubuh kita yang sangat menyengsarakan, membentuk kita menjadi terpedayakan dan terpecundangi. Aku ingatkan kau bahwa seharusnya kau tak pura-pura berbahagia dan puas dengan situasi yang membelenggu seperti ini.

Tentu bukan kekayaan materi yang membuat kita bahagia. Tetapi kita telah dibuat untuk menjadi objek, yang membuat peran sosial kita sebagai manusia terbatasi, dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan telah diputar-balikkan. Salah dikatakan benar, benar dikatakan salah. Korupsi dianggap biasa, tidak korupsi dianggap aneh. Membeli jabatan dianggap sudah biasa, dan entah karena kelemahan jiwa manusia atau karena kekuasaan palsu telah membalikkan nilai, sgala keburukan dan kerusakan nilai dibiarkan terjadi.

Dan ketika, ada yang bersuara keluar untuk menuntut kebenara, diapun bilang, “Tak usah macam-macam, evaluasi dirimu sendiri”. Aku tak bersalah, kaupun tak bersalah, jika terus bersuara, dan apalagi suara kita sebenarnya lebih mengandung tuntutan kebenaran. Jadi kenapa harus hirau pada suara lain yang keluar dari kepentingan orang yang tidak mau kebenaran ditemukan dan disebarkan, meski bisa jadi suara itu dikeluarkan dari bukan langsung dari mulutnya?

(Blok M No 10, Karangsuko—Trenggalek, 24/10/2011;12:07:16)

”Gek Kesenian Kuwi Blangkrah Apa!”



Trenggalek, adalah sebuah kabupaten yang tergolong tertinggal di Jawa Timur. Berbagai kelemahannya: angka kemiskinan, hutan yang nyaris habis dibabat secara sempurna, dan tradisi-tradisi/ritual warisan kebudayaan lama seperti bersih desa, larung sembonyo, tiban (tarian/pertarungan dengan cambuk dari sada aren), dan lain-lainnya, seharusnya dibaca sebagai tantangan (baca:peluang). Masyarakatnya masih menjunjung tinggi nilai-milai persaudaraan, solidaritas, dan kegotong-royongan, berbeda dengan manusia-manusia kota (metropolitan) yang semakin kukuh individualitasnya.



Di Trenggalek ada kesenian rakyat ”Jaranan” yang dikenal dengan nama ”Turanggayaksa” (sering ditulis secara salah: ”Turonggoyakso”. Kalau di tempat lain ada seni-jaranan yang dikenal dengan nama ”Jaranan Buta” (artinya sama dengan turanggayaksa (: jaran = kuda | yaksa = buta = raksasa) pastilah tampilan/gerak tariannya jauh berbeda dengan ”Turanggayaksa” yang khas Trenggalek itu.

Saya bisa bercerita secara khusus mengenai Turanggayaksa karena saya pernah menjadi pemain Jaranan Sentherewe oleh dua orang kreator ”Turanggayaksa” itu, yakni Pak Mu’an dan Pak Pamrih (keduanya tinggal di Kecamatan Dongko). Kedua orang kreator Turanggayaksa itu, menurut keterangan yang saya terima, pernah menjadi pemain ludruk juga. Pak Mu’an, juga terampil menciptakan perlengkapan tarian Turanggayaksa, dari slompret (terompet) ”turangga”, hingga barongan (caplokan)-nya. Turanggayaksa yang diciptakan untuk menghidupkan tradisi bersih desa di Desa Dongko itu kemudian menjadi populer, dan bahkan pernah dijadikan materi tarian yang wajib dipelajari di sekolah-sekolah di seluruh Kabupaten Trenggalek.

Beberapa kali Festival Turanggayaksa pun digelar. Sayangnya, dalam rembug kesenian di Sanggar Tari Joyo Anggodo, Desa Parakan, Kecamatan Trenggalek, yang dihadiri para pelaku, guru, pemilik sanggar, dan para pemerhati kesenian (15 Januari 2012) terungkap bahwa Festival Turanggayaksa sudah tidak lagi digelar dalam beberapa tahun belakangan ini.

Mendengar kabar menyedihkan itu, saya lalu teringat kawan-kawan, para perempuan pekerja migran di Hong Kong yang dengan bangga dan penuh antusiasme memromosikan kesenian jaranan di negeri penggemar Barongsai itu.

Kabar sedih itu juga seperti nyaris memupuskan harapan saya, untuk suatu ketika ada delegasi kesenian dari Trenggalek (tidak perlu rame alias banyak orang) bisa menampilkan Turanggayaksa di Hong Kong, sekalihgus memberi kursus kilat kepada perempuan pekerja migran asal Trenggalek yang ada di Hong Kong. Beberapa di antara mereka mengaku pernah mempelajarinya sewaktu di sekolah. Maka, alangkah Indahnya jika setelah tampil jam-session dengan sebuah Grup Barongsai dari Kecamatan Wan Chai, Kelurahan Causeway Bay, atau Kabupaten Kowloon Tong, lalu perlengkapannya dihibahkan kepada para ”duta budaya” yang selama ini hanya lebih banyak dikenal dengan sebutan bernada menghina: ”TKW” itu.

Impian mengenai delegasi keenian dari Trenggalek ke Hong Kong itu sesungguhnya bukan impian ngayawara, jika saja kita bisa membaca seberapa penting, apa dampak positif, dan keuntungan nonfinansial dapat diraih, baik oleh seniman yang terlibat, para pekerja migran yang ada di Hong Kong, terutama yang diwarisi ketrampilan-seni-jaranan, maupun yang dapat dipetik dari silaturahmi antarnegara: Indonesia - Hong Kong.

Makin masuk akal lagi, tanpa berpretensi untuk mengajak ber-KKN, mengingat ada dua sosok yang menjadi pejabat penting di bidang ini di Provinsi Jawa Timur, berasal dari Trenggalek: Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreativ Provinsi Jawa Timur, dan seorang lagi Kepala Taman Budaya Jawa Timur.