Sabtu, 21 Januari 2012

RUANG SEMPIT DAN MENEKAN MELAHIRKAN PIKIRAN SEMPIT

Kenapa seringkali tindakan yang tidak masuk akal yang menghasilkan kerusakan, kejahatan, dan keanehan? Dan kenapa kebanyakan orang hanya ikut-ikutan dan seakan masyarakat kemudian menjadi satu dimensi? Konon ruang demokrasi sudah dibuka, tetapi kenapa tidak menghasilkan kreativitas sikap dan tindakan, gaya hidup dan pemaknaan yang mendalam antara masing-masing orang yang berbeda baik secara individu maupun kelompok? Tentu karena orang yang tidak berpikir (terbuka) biasanya hanya bergerak atas perasaan saja. Sementara perasaan adalah tempat manipulasi sesuatu dari luar.

Lihatlah kenapa anak-anak kecil di kantong perlawanan atas nama agama diajari menembak dan merakit bom, didoktrin untuk melakukan bunuh diri membawa bom di Irak, Afghanistan, dan lain-lain. Sejak kecil mereka dibentuk untuk membesar-besarkan perasaan, yaitu perasaan kebencian, dan bukan akal sehat. Mereka didoktrin dengan pikiran berpikir sempit dan dangkal. Orang-orangtua di sekitar mereka, mungkin bukan orangtua asli tetapi orang yang lebih tua yang sedang membangun pasukan berani mati, hanya mengajari mereka bagaimana kelompoknya menang dengan jalan perang (dengan jani-janji surga, dll).

Tentu saja dari segi perasaan dalam diri, semangat mereka membara. Tetapi dasar berpikir mereka jelas sempit karena diisi oleh doktrin-doktrin sempit penafsiran agama. Mereka tak pernah menggunakan otak dan akal sehat pikirannya untuk mengarah pada pertanyaan alternatif: “Kenapa harus berperang? Apakah perang ini adalah takdir dan perintah, ataukah lahir dari situasi lingkungan tertentu? Kenapa anak-anak seperti kami harus memusuhi orang lain pada saat anak-anak di dunia lain harus belajar? Benarkah ajaran agamaku berisi perang dan kekerasan?”

Memang anak-anak kecil sulit otaknya masih mudah diisi. Apalagi yang mengisi adalah orang-orang yang ingin menghabiskan hidupnya untuk perang atas nama agama. Anak-anak seperti di Jalur Gaza yang menjadi perebutan Israel dan Palestina, tak ada lagi pilihan. Sekolah-sekolah dihancurkan, mereka tak bisa belajar. Orangtuanya dibunuh oleh penjajah yang oleh teman-teman orangtuanya dan orang-orang sekitarnya diidentifikasi berdasarkan agamanya. Akhirnya mereka terbiasa menganalisa sesuatu berdasarkan cara berpikir tafsir agama yang diajarkan orangtuanya. Ajaran itu adalah bahwa agamanya adalah agama perang dan dengan perang pulalah Kejayaan Agama mereka bisa diraih.

Ideologi dari wilayah seperti itu telah berusaha diimpor ke daerah-daerah lain, negara-negara lain, kawasan lain. Dari lingkungan yang membuat orang berpikir sempit dan lingkungan yang membuat orang hanya tahu permusuhan atas nama kebenaran tafsir agama kelompok dan alirannya itulah, ideologi sempit keberagamaan menyebar dan datang, termasuk di Indonesia.*

0 komentar:

Posting Komentar