Minggu, 15 Januari 2012

MELIHAT KELUAR DAN MELIHAT KE DALAM DIRI

Oleh: Nurani Soyomukti*)

Saat aku mengajak engkau bersuara dengan nada yang kritis dan membuka mata hati, bisa jadi ada orang yang menanggapi seperti ini: “Evaluasilah dirimu sendiri dulu sebelum bersuara!”. Ucapan tersebut ada yang bertujuan baik, tetapi juga ada muncul karena ia tak suka hal baru, bahkan menyukai keadaan yang ada karena sudah puas dengan yang diterimanya. Mungkin juga karena ia berposisi pada situasi di mana hal baru yang kita suarakan akan mengancam keadaannya yang biasanya lebih enak dari kebanyakan orang.
Maka jangan pedulikan, tetaplah bersuara. Dan memang perlu mengevaluasi diri, dan sangat perlu untuk mengevaluasi keadaan hidup di mana diri berpijak. Teruslah belajar memahami diri dan lingkunganmu. Jangan pernah takut untuk bicara.

Melihat diri sendiri tanpa menengok dunia luar akan membuat diri terlalu jauh meninggalkan realitas sebagai akar pembentukan keberadaan diri. Ssebagian besar bahan dan sumber masalah kita jelas tak berada di luar diri kita semata, tetapi dari luar. Evaluasi jelas menjadi kewajiban setiap diri. Tetapi kita jelas bukan berada di ruang kosong. Jiwa yang mudah renta dan lemah selalu terjadi tak ada sokongan sosial. Dan ijinkanlah aku selalu mengingatkanmu akan bahaya dari kepribadian yang cuek pada dunia luar dan tak berakar atau tumbuh dengan memberi keindahan pada pemandangan dunia luar.

Ijinkanlah aku mengingatkanmu bahwa engkau tak boleh semata menganggap bahwa nasib susahmu adalah takdir Tuhan dan karena kesalahanmu sendiri, seakan tak ada hubungan sosial dan seakan tak ada kebijakan di luar tubuh kita yang sangat menyengsarakan, membentuk kita menjadi terpedayakan dan terpecundangi. Aku ingatkan kau bahwa seharusnya kau tak pura-pura berbahagia dan puas dengan situasi yang membelenggu seperti ini.

Tentu bukan kekayaan materi yang membuat kita bahagia. Tetapi kita telah dibuat untuk menjadi objek, yang membuat peran sosial kita sebagai manusia terbatasi, dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan telah diputar-balikkan. Salah dikatakan benar, benar dikatakan salah. Korupsi dianggap biasa, tidak korupsi dianggap aneh. Membeli jabatan dianggap sudah biasa, dan entah karena kelemahan jiwa manusia atau karena kekuasaan palsu telah membalikkan nilai, sgala keburukan dan kerusakan nilai dibiarkan terjadi.

Dan ketika, ada yang bersuara keluar untuk menuntut kebenara, diapun bilang, “Tak usah macam-macam, evaluasi dirimu sendiri”. Aku tak bersalah, kaupun tak bersalah, jika terus bersuara, dan apalagi suara kita sebenarnya lebih mengandung tuntutan kebenaran. Jadi kenapa harus hirau pada suara lain yang keluar dari kepentingan orang yang tidak mau kebenaran ditemukan dan disebarkan, meski bisa jadi suara itu dikeluarkan dari bukan langsung dari mulutnya?

(Blok M No 10, Karangsuko—Trenggalek, 24/10/2011;12:07:16)

0 komentar:

Posting Komentar