Minggu, 15 Januari 2012

DEGRADASI PERAN DAN KUALITAS DOSEN

Oleh Nurani Soyomukti


Sebagai pengajar di perguruan tinggi, dosen adalah mereka yang menjadi penjaga utama (avant garde) dari aktivitas ilmiah di kampus. Lebih jauh, sebagai tenaga pengajar, dosen diharapkan memiliki kekuatan transformatif (transforming power) dalam dunia pendidikan kampus dan di masyarakat.


Meskipun tidak boleh dikatakan sebagai satu-satunya kalangan yang memiliki banyak stock of knowledge, dalam kegiatan perkuliahan, pengajar adalah yang paling penting dalam membentuk semangat akademik bagi para mahasiswanya. Dalam getok tular ilmu pengetahuan dan logika berpikir, bagaimanapun, peran dosen tidak bisa dianggap remeh. Sehingga, mereka harus memiliki banyak wawasan, produktif dan kreatif dalam aktivitas ilmiah, serta memiliki penguasaan untuk mencetak mahasiswa yang berwawasan dan tekun dalam menjalani aktivitas ilmiah di kampus (dan berperan dalam masyarakat).

Pada kenyataannya, seorang akademisi juga mereka yang memiliki peran luas dalam masyarakat dengan menggunakan kemampuan ilmiahnya untuk menganalisis dan memberikan solusi bagi persoalan masyarakat. Dalam hal ini, posisi akademisi juga dipadang sebagai wakil dari universitas (kampus) di mana dia melakukan aktivitas keilmuannya. Kualitas kampus bisa dilihat dari kualitas para akademisinya. Misalnya, semakin banyak akademisi yang digunakan di masyarakat seperti sering diundang di seminar, diwawancarai oleh pers, menulis di media, dan lain-lain—atau intinya memberikan pencerahan bagi masyarakat baik di dalam maupun di luar kampus (masyarakat)—maka semakin besar pula posisi dan peran kampus tersebut dalam masyarakat.

Minimnya Penelitian

Mengharapkan peran semacam itu, tampaknya kini semakin ada penurunan kualitas di kalangan dosen-dosen kita. Kegairahan ilmiah dan ketertarikan pada aktifitas akademis tampaknya semakin berkurang. Bukan hanya mahasiswa yang kian kurang tertarik pada budaya ilmiah, godaan budaya pasar yang kapitalistik juga membuat dosen hanya memaknai profesinya sebagai status untuk mencari uang dan mengejar kebutuhan-kebutuhan instan.

Kenyataan lainnya adalah minimnya kegiatan riset yang dilakukan oleh dosen di berbagai perguruan tinggi Indonesia. Penelitian yang dilakukan dosen yang mengajar di perguruan tinggi negeri dan swasta masih rendah. Jumlah dosen yang tercatat meneliti belum mencapai 10 persen dari sekitar 150.000 dosen tetap di perguruan tinggi negeri dan swasta di seluruh Indonesia.

Sebagaimana dikatakan Fasli Jalal, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, dalam rapat kerja Komisi X bersama Menteri Negara Riset dan Teknologi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas, serta Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian di Jakarta beberapa waktu lalu: Penelitian dosen kita masihlah rendah. Ditunjukkan data bahwa baru sekitar 12.000 dosen yang terdata melakukan penelitian. Akibatnya, penerbitan jurnal ilmiah kita juga rendah. Sejauh ini kontribusi Indonesia baru 0,8 artikel per satu juta penduduk. Angka tersebut jauh dibandingkan dengan India yang penduduknya berjumlah 1,1 miliar, kontribusinya mencapai 12 artikel per satu juta penduduk (Kompas, 11/12/2008).

Minimnya kegiatan riset dan kegiatan ilmiah di kampus akan menyebabkan kampus semakin konservatif karena kampus adalah salah satu lembaga yang berkaitan dengan struktur kekuasaan di mana pendidikan seringkali dijadikan alat hegemoni bagi negara dan pasar.

Sebenarnya kampus kita belum bisa dikatakan sepenuhnya modern dan profesional. Ini mencirikan birokrasi pendidikan Indonesia yang masih kolot dan dipenuhi KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Kampus seperti lembaga pendidikan di jaman feodal kerajaan di mana birokrasinya diatur secara—dalam pengertian Weber—tidak rasional. Seakan kampus berada dalam masyarakat yang masih feodal (bercorak produksi tanah atau pertanian).
Corak produksi tanah tentunya adalah susunan masyarakat pra-modern (pra-ilmiah) karena tidak ada perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, tapi hanya berupa masyarakat yang kebutuhan rakyat jelata ditekan, sederhana, tingkat produktifitasnyapun sederhana, tetapi harus diberikan—atau hasilnya harus diserahkan (surplus values)—pada penguasa yang hidup bermewah-mewah dalam istana (yang dilengkapi taman bermain sendiri, makanan-minuman enak-enak, pakaian dan aksesoris bagus, kolam renang yang indah, bahkan wanita-wanita pelayan dan gundik-gundik).

Makanya, tahap masyarakat feudal ini adalah masyarakat yang memanipulasi pengetahuan masyarakat karena didominasi oleh ideologi ketertindasan dan ketertundukan. Jaman feudal telah hancur oleh masa renaisans (pencerahan) atau aufklarung yang membawa paham baru yang bertujuan untuk mewujudkan kesetaraan antar manusia, yang salah satunya kini muncul dalam bentuk lembaga ilmu pengetahuan seperti universitas.

Feodalisme menempatkan pendidikan sebagai hak para bangsawan dan keluarga istana agar mereka mendapatkan pengetahuan tentang ketatanegaraan, teknik perang, dan juga wawasan-wawasan pengetahuan dan kesusastraan. Para keturunan bangsawanlah, dan bukan rakyat, yang mendapatkan pendidikan tersebut karena mereka adalah pewaris tahta kerajaan dan kekuasaan kerajaan. Tanah dan wilayah teritorial dan segala kekayaannya adalah milik Dewa yang diwakilkan pada raja, keluarga dan keturunannya sebagai pemegang sah hak milik. Rakyat jelata adalah pelayan yang harus bekerja keras, membayar upeti dan dimobilisir dalam perang melawan kerajaan lain atau pemberontak.

Jelas, sebagai institusi modern yang lahir dari rahim peradaban pencerahan, kampus bukanlah kerajaan. Maka masih banyak kecurangan yang terjadi dalam rekrutmen pegawai kampus termasuk staf pengajar (dosen) tersebut yang bersifat feudalistik tersebut. Bahkan dikabarkan isu ini telah meluas di masyarakat, dan sebagian mahasiswa juga akan melakukan aksi demonstrasi lagi untuk mencabut keputusan sepihak birokrasi untuk me-goal-kan calon dari kelompok dan keluarganya itu. Gejala ini perlu dicermati dan diatasi. Kampus sebagai miniatur kehidupan demokrasi (modern) membutuhkan kedewasaan dan kecerdasan berpikir dan bertindak dari para anggotanya.***

1 komentar:

Subhanallah, semakin banyak saya membaca tulisan bapak maka saya merasa sangat butuh akan belajar. Pak, bagaimana saya bisa membeli buku ini?

Posting Komentar