Sabtu, 21 Januari 2012

INDONESIA YANG MEMBUKA PIKIRAN DAN MENERIMA PERBEDAAN


Masalahnya, Indonesia adalah sebuah negara-bangsa yang oleh pendirinya dimaksudkan sebagai bangsa yang masyarakatnya terbuka. Tanah Dwipantara dan Nusantara yang kemudian bernama Indonesia ini telah menerima cara berpikir apapun, mulai animisme, dinamisme, kepercayaan pada dewa-dewa, agama Hindu, Budha, Kristen, Katholik, Konghucu, bahkan juga orang-orang yang tak peduli pada agama dan tak percaya pada agama. Maka inilah pluralisme di bawah lindungan dasar Negara Pancasila, dengan mengadopsi nilai-nilai lokal yang arif disinergikan dengan ajaran HAM (hak asasi manusia) dan demokrasi dari Barat. Sekulerisme juga dipilih karena agama adalah urusan pribadi dan tak bisa dicampuri. Negara juga harus diselamatkan dari dominasi agama tertentu secara formal. Kebebasan beragama dan berfikir dilindungi. Negara tak bisa (tak boleh) menghakimi, menilai, menghukum orang berdasarkan (identitas) agama dan sukunya. Siapapun orang yang baik harus dihormati, dan orang yang jahat harus dihukum. Sekali lagi, bukan karena identitas agama dan identitas suku atau kelompok atau alirannya. Orang yang rajin beribadah pun, yang rajin menyebarkan agama, yang oleh kelompoknya disanjung dan dihormati, kalau melakukan perbuatan jahat atau memprovokasi perbuatan jahat (merusak dan melakukan pengebom) juga ditangkap pihak berwenang dan diadili di depan hukum. Tak kenal orang yang rajin beribadah dan fanatik beragama, kalau korupsi juga akan berhadapan dengan hukum—lepas dari masih kurang bagusnya budaya hukum kita.

Kita beruntung bisa hidup di negeri demokratis dan berdasar hukum sekuler ini. Sebab kecil kemungkinan orang menggunakan hukum tuhan (hukum negara yang berdasarkan agama tertentu) untuk dijadikan oleh elit tertentu yang dianggap punya otoritas agama yang paling kuat untuk menghukum manusia menurut penafsiran manusia atas ajaran Tuhan. Dan karena negara adalah pemegang otoritas dan monopoli kekuasaan, akan bahaya jika orang yang mengatasnamakan Tuhan (agama) menjadi algojo atau polisi moral atas perbuatan orang lain dan rakyatnya.

Inilah untungnya dipisahkan antara agama dan negara secara formal—meski secara substansial tak dipisahkan. Tuhan tak perlu kawatir namanya diperalat oleh para pemimpin dan pejabat negara untuk menghukum atas perbuatan di dunia. Dan Tuhan justru bahagia karena suatu masyarakat mau menjalani proses dan mau berikhtiar untuk menafsirkan dan mengkreasi hukum-hukum dunia yang digunakan untuk mengatasi masalahnya sendiri. Manusiapun bisa menggunakan karya Tuhan (akal dan kerjanya) untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Di sinilah manusia benar-benar berhubungan dan berproses dengan manusia lain dan alam, sebagai ujian Tuhan.

Kita beruntung sekalu hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena masyarakat kita sangat terbuka pada perbedaan. Maka disinilah kita harus memanfaatkan keterbukaan ini untuk memaksimalkan cara berpikir dan akal sehat kita. Kita sudah diberikan ruang yang terbuka. Tinggal kita mau memanfaatkannya atau tidak!!! [*]

0 komentar:

Posting Komentar