Minggu, 15 Januari 2012

TAHUN BARU 2012 MASIH DALAM KEGELAPAN

Oleh NURANI SOYOMUKTI


Bangsa ini juga ikut merayakan tahun baru 2012 dengan berbagai macam perayaan, terutama meniup terompet dan menyalakan kembang api di detik pergantian tahun. Hampir semua pihak yang bersuara mengajak kita optimis untuk menghadapi tahun baru penuh harapan. Tentunya gelora semangat ini bisa muncul bersamaan dengan perayaan pergantian tahun.
Gelora optimisme akan segera pudar begitu terompet dibuang. Karena tahun lalu kita dihadapkan pada situasi yang tingkat keparahannya luar biasa. Apatisme meraja-lela sebab tahun-tahun telah berganti, decade-dekade berubah, tetapi nasib rakyat tak berubah, bahkan kian memburuk. Korupsi masih belum bisa diberantas, kekerasan masih Berjaya, konflik masih meraja, atas nama agama dan prasangka kelompok. Prasangka adalah penyakit tersendiri yang menyebabkan orang tak bisa memahami keadaan secara objektif.

Tidak memahami situasi sama saja dengan menjadi buta akan apa yang sedang terjadi di masa depan. Para pimpinan dan elit tampaknya juga dijangkiti subjektivisme kepentingan. Pertama-tama, mereka tak bisa memahami dengan pikiran dan hati nurani bahwa tuntutan rakyat akan kesejahteraan adalah hal yang mendesak. Itu terjadi karena mereka berada dalam lingkaran setan kekuasaan politik yang tidak memungkinkan mereka menggunakan hati dan pikiran. Politik berbiaya tinggi yang menuntut politisi mengembalikan modal, tuntutan mencari biaya politik partai politik (parpol) dari uang Negara, kesibukan dalam menjalankan permainan politik, membuat mereka tak lagi bisa memikirkan tuntutan rakyat.

Negara benar-benar menjadi alat bagi kelas berkuasa. Negara tak hadir saat umat beragama dan penganut kepercayaan terancam haknya untuk membangun tempat Ibadah… Negara tak hadir saat sekelompok orang atas nama agama memukuli, menganiaya, dan merusak atau membunuh… Negara tak hadir saat rakyat butuh kesejahteraan, subsidi malah dicabut, korupsi malah dibiarkan… Negara hadir saat ia harus meminta rakyat membayar pajak

Negara hadir saat kapitalis, kaum modal, dan pengusaha diprotes oleh rakyat. Bahkan Negara rela mengerahkan pasukan tentara dan polisi untuk menembaki rakyatnya, hanya untuk membela pengusaha yang merugikan rakyat, yang menggusur tanah rakyat dan merusak lingkungan rakyat. Negara hadir untuk membantu perusahaan yang bangkrut, seperti memberi talangan dana (bail out) pada bank-bank bangkrut. Hal ini nyata dalam kasus Bank Century!Negara menolong penumpuk modal, tetapi tak pernah mengurusi nasib rakyat.

Meneropong Ruang-Waktu

Ya, tahun baru akan segera tiba. Bisakah kondisi buruk masa lalu kita hindari bersamaan dengan pergantian tahun? Bisakah pergantian waktu mengantar kita pada kehidupan yang lebih baik? Ataukah—sebagaimana dikatakan Martin Heidegger—akan terjadi lagi “rahasia waktu”, yakni risalah yang menuju kematian (Zeit zum Tode)?

Pandangan tentang perubahan, seperti yang dinyatakan dalam berlalunya waktu, dengan dalam merasuki kesadaran manusia. Inilah basis dari semua unsur tragis dalam kesusastraan, perasaan sedih karena berlalunya kehidupan, yang mencapai bentuknya yang paling indah dalam soneta-soneta Shakespeare, seperti yang satu ini, yang dengan gemilang menggambarkan satu rasa akan pergerakan waktu yang penuh keresahan: "Like as the waves make toward the pebbled shore/So do our minute hasten to their end; Each changing place with that which goes before/In sequent toil all forward to contend” ("Laksana ombak yang melaju ke pantai berpasir, demikianlah menit demi menit berpacu menuju kehancuran; semuanya bertukar tempat dengan para pendahulu, berturutan mereka menyeret diri ke dalam pertempuran").

Kemustahilan kita untuk membalik waktu tidak hanya berlaku untuk mahluk-mahluk hidup. Bukan hanya manusia, tapi bintang-bintang dan galaksi juga dilahirkan dan mengalami kematian. Perubahan berlaku untuk segala hal, tapi bukan hanya dalam makna yang negatif. Berdampingan dengan kematian, hadirlah kehidupan, dan keteraturan lahir secara spontan dari kekacauan. Tanpa kematian, kehidupan itu sendiri tidaklah akan dimungkinkan. Tiap orang bukan hanya sadar akan dirinya sendiri, tapi juga akan negasi dari diri mereka, dari batasan terhadap diri mereka sendiri. Kita berasal dari alam dan akan kembali ke alam. Kenapa takut dengan waktu? Seharusnya kita merencanakan ruang agar waktu tidak hanya meromantisir kejadian-kejadian, yang melupakan kita pada kenyataan yang sebenarnya.

Waktu adalah cara untuk menyatakan perubahan dalam keadaan dan pergerakan yang merupakan ciri tak terpisahkan dari materi dalam segala bentuknya. Dalam tata bahasa Inggris, kita memiliki tenses: past tense, future tense dan present tense. Penaklukan kolosal yang dilakukan akal manusia memungkinkannya untuk membebaskan dirinya sendiri dari perbudakan waktu, untuk mengatasi situasi kongkrit dan menjadi "hadir" ('present'), bukan hanya di sini dan sekarang, tapi juga di masa lalu dan di masa datang, setidaknya di dalam pikiran.

Menurut Allan Wood dalam bukunya “Reason and Revolt” (1999), waktu dan gerak adalah dua konsep yang tidak terpisahkan. Keduanya hakiki bagi semua kehidupan dan semua pengetahuan di dunia, termasuk tiap perwujudan yang diambil oleh pikiran dan khayalan. Pengukuran, batu penjuru dari semua ilmu pengetahuan, akan mustahil tanpa ruang dan waktu. Musik dan tari didasarkan atas waktu. Seni sendiri mencoba mencapai satu rasa tentang waktu dan gerak, yang hadir bukan hanya diwakilkan oleh enerji fisik tapi juga oleh disainnya. Warna, bentuk dan garis dari sebuah lukisan membimbing mata melintasi permukaan dalam irama dan tempo tertentu. Inilah yang menumbuhkan rasa, ide dan emosi tertentu pada kita setelah kita menikmati karya seni tersebut. Keabadian adalah kata yang sering digunakan untuk menggambarkan berbagai karya seni, tapi justru sebenarnya menyatakan persis kebalikan dari apa yang dimaksudkan.

Kita tidak akan dapat merasakan ketiadaan waktu, karena waktu hadir dalam segala sesuatunya.

Ada satu perbedaan antara ruang dan waktu. Ruang dapat juga menyatakan perubahan, sebagaimana perubahan dalam posisi. Materi hadir dan bergerak melalui ruang. Tapi jumlah cara yang dapat dilalui oleh perubahan ini besar tak berhingga: maju, mundur, naik atau turun, dengan derajat apapun. Pergerakan dalam ruang juga dapat berlaku kebalikannya. Pergerakan dalam waktu tidak dapat diputar balik. Keduanya adalah dua cara yang berbeda (bahkan bertentangan) dalam menyatakan satu ciri yang hakiki dari materi—perubahan. Inilah satu-satunya Kemutlakan yang ada.

Ruang adalah "kembaran" materi, kalau kita pakai istilah Hegel, sementara ruang adalah proses di mana materi (dan energi, yang merupakan pernyataan lain materi) terus-menerus berubah menjadi hal yang lain daripada dirinya sendiri. Waktu – "api yang menelan kita semua"—biasanya dilihat sebagai suatu hal yang destruktif.

Maka demikianlah, tahun baru memang membawa harapan, setidaknya di angan-angan. Tetapi bisa menjadikan kita terperosok ke jurang kehancuran. Setidaknya kita tak melihat tanda-tanda akan adanya perubahan menuju kondisi yang lebih baik.***

0 komentar:

Posting Komentar