Jumat, 20 Januari 2012

TUBUH RATU KECANTIKAN VS TUBUH BURUH FREEPORT

Oleh Nurani Soyomukti


Ini adalah era krisis kapitalisme yang dipenuhi krisis moral—dan yang penting adalah adanya krisis (eksistensi) diri. Bagaimana seseorang memaknai keberadaan dirinya, kapitalisme telah membentuk sedemikian rupa sehingga eksistensi diri sesuai dengan kebutuhan masyarakat pasar.
Konsep cantik masih didominasi bentuk muka berwajah mirip Indo, karena kapitalisme berasal dari Barat, modal Barat, sehingga kelas (kapitalis) yang mendominasi pemaknaan membuat Indo menjadi parameter dan standar estetika wajah. Apalagi kalau wajahnya unik, campuran Indo dan pribumi, maka tipe seperti inilah yang laku di pasar kecantikan—dengan jagat hiburan (entertainment), yang kita bisa lihat melalui TV.

Setelah wajah, tentu adalah ‘body’. Seksi itu menarik, ramping membuat percaya diri, dan gemuk menyibukkan karena harus membuat mereka diet, ikut fitness, aerobic, dan ini memakan waktu—pada hal di jagat persaingan pasar tubuh yang ketat, waktu adalah uang.

Atau yang jelas, cantik itu tergantung bagaimana mereka mendandani dan menghiasi tubuh. Baju yang bagus, baju yang cocok, yang tentu saja harganya mahal! Make up yang berkualitas—seperti Krisdayanti yang konon biaya make-up per minggunya puluhan juta rupiah. Dan kalau mau jujur, artis-selebritis itu sebenarnya juga manusia biasa yang cantiknya sebenarnya ya ‘kayak’ perempuan-perempuan yang biasa kita jumpai baik di desa atau kota. Tetapi yang pasti bahwa mereka cantik karena make-up, saat tampil di public mereka tak mau jika tanpa make up dan dalam keadaan ‘well-dressed’. Ada artis yang kadang muncul di infotainment tampil tanpa make-up, mungkin kurang persiapan atau karena wartawan infoteinmen datang ‘dadakan’ hingga si artis yang diwawancarai tak sempat berdandan: Yang kita lihat, ya ampun!, mereka juga kelihatan jelek, bahkan dalam keadaan alami kalah cantik dengan gadis-gadis atau perempuan tetangga kita—bahkan kalah cantik dengan gadis-gadis di kampung kita!

Jadi, kecantikan dalam pasar kapitalistik hiburan atau parade tubuh itu tak lebih dari: Rekayasa! ‘Image engineering’, rekayasa citra! Mereka tak lebih dari produk yang harus didandani supaya laku di pasar hiburan… terutama dunia seni selebritas. Tubuh mereka tak lebih dari barang dagangan (commodity), dijual untuk mendapatkan uang/upah. Kalau dipikir secara hakiki, sama saja kan dengan pelacur. Pelacur memperdagangkan tubuh, mungkin lebih banyak menggunakan vaginanya. Tapi toh itu juga bagian tubuh seperti tangan, kaki, wajah, payudara, mulut, rambut, mata, pantat, dll. Bahkan otak yang ada di dalam kepala!

Dengan mempkerjakan tubuh atau bagian tubuh itulah orang mencari uang, mendapatkan upah… semua orang. Mulai pengarang seperti saya yang menguras otak dan menggerakkan jari. Petani yang mengayunkan cangkul dan memetik buah. Buruh yang di mencetak produk di pabrik. Nelayan yang melempar sauh dan menebar jaring di laut. Pembantu rumah tangga yang berada di rumah orang lain atau majikannya. Penyanyi dangdut yang menggunakan ‘bokong’-nya. Penyanyi pop yang menggunakan mulut, tenggorokan, dan nafasnya untuk menghasilkan suara; toh juga yang hanya mengandalkan penampilan fisik, meskipun suaranya pas-pasan.

Itu semua yang disebut kerja. Kerja adalah menggunakan tubuh untuk melakukan aktifitas tertentu guna menghasilkan sesuatu. Kerja kebanyakan adalah kegiatan produksi, untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi dirinya, mempertahankan kelangsungan hidup dan mengembangkan kehidupannya, eksistensi dirinya, dengan pemaknaan sesuai dengan pengalaman dan bentukan sosial masyarakat.

Tetapi kerja tubuh yang berada dalam masyarakat kapitalis—yang ekploitatif dan menghisap—dalam banyak hal justru menyangkal eksistensi diri, hingga makna diri kadang hilang. Makna itu dibentuk oleh suatu keadaan, tetapi makna kadang independen dari keberadaan dan posisi dalam kehidupan. Kerja kadang menyangkal hakekat, makna, dan eksistensi diri. Karl Marx, dalam karyanya ’Manuskrip Ekonomi dan Filsafat’ adalah seorang filsuf yang memahami betul bahwa kerja semacam itu merupakan kerja yang mengasingkan (alienating work).

Makna alienasi kerja, menurut Marx, adalah: bahwa kerja bersifat eksternal bagi pekerja, bahwa kerja bukan bagian dari wataknya; dan bahwa, sebagai akibatnya, dia tidak bisa memenuhi dirinya dalam kerja.

Kerja seperti itu tidak berdasarkan kebebasannya sebagai spesies tetapi telah tereduksi demi aktivitas yang tertukar dengan uang, apalagi uang (upah) yang didapat bahkan tak bisa mencukupi kebutuhannya—tak mampu menyangga eksistensi materialnya yang paling pokok saat upah yang didapat tak cukup untuk digunakan mencukupi kebutuhan-kebutuhan pokok. Bagaimana manusia bisa melangkah pada kebutuhan yang bersifat estetis dan spiritual, seperti membuat puisi dan mengekspresikan diri dalam seni-sastra, atau menjalankan keberagamaan dengan penuh makna dan tak termanipulasikan jika ia harus masih menjawab kebutuhan-kebutuhan pokok agar bisa bertahan hidup. Bagaimana manusia bisa mencintai secara tulus (truthfull, sincere, no pretention) jika pola hubungan eksploitatif, materialisme, kepemilikan pribadi, yang menyebabkan keterasingan itu begitu kuat mengikat hubungan satu sama lainnya?

Marx menguak kontradiksi material sebagai penyebab alienasi dan manipulasi hubungan, yaitu kontradiksi dalam hubungan kerja yang memang menjadi penyangga hubungan yang bersifat sosial, budaya, dan politik. Karena kontradiksi material dalam kerja itulah yang membuat pekerja tidak menjadi subjek atas dunianya, tetapi menjadi objek atas dunianya sendiri; bukan untuk pemenuhan dan ungkapan individualnya yang sejati, tetapi untuk wilayah eksternalnya, mungkin untuk orang lain yang membayarnya. Aktivitas yang bukan dari (dan demi) dirinya sendiri adalah aktivitas yang teralienasi. Marx menganggap alienasi aktivitas praktis manusia, kerja, berasal dari dua aspek: pertama, hubungan pekerja dengan produknya sebagai objek asing yang menguasainya. Hubungan ini pada saat bersamaan merupakan hubungan dengan dunia eksternal, dengan benda-benda alam, sebagai dunia yang asing dan memusuhi.

Kedua, hubungan kerja dengan tindakan produksi dalam kerja. Ini merupakan hubungan kerja dengan aktivitasnya sendiri sebagai sesuatu yang asing dan tidak menjadi miliknya, aktivitas yang menderita (pasivitas), kekuatan sebagai ketidakberdayaan, penciptaan sebagai pengebirian, energi fisik dan mental pekerja, kehidupan pribadinya (apa itu hidup kalau bukan aktivitas?) sebagai sebuah aktivitas yang ditujukan untuk melawan dirinya, independen darinya dan tidak menjadi miliknya.

Kontradiksi pada hubungan kerja itulah yang membuat yang terhisap selalu melawan. Itulah yang membuat para pekerja PT Freeport mogok kerja dengan tuntutan kenaikan upah. Kelas pekerja (buruh) ingin menegaskan eksistensi dirinya dengan merayakan Hari Buruh Internasional (tiap 1 Mei) dengan melakukan aksi massa. Ini terjadi di berbagai negara di belahan dunia. Aksi buruh belakangan ini juga marak terjadi di Wall Street Amerika Serikat (AS), dan berbagai negara Eropa. Mereka ingin menegaskan bahwa mereka adalah kelas yang sehari-hari berada di tempat kerja, tetapi hingga kini mereka tak mendapatkan apa-apa. Mereka ingin tubuh dan kerja mereka dihargai. Mereka merayakan tubuhnya dengan membanjiri jalanan-jalanan kota, membawa tuntutan-tuntutan agar tubuh dan kerja mereka dihargai selayaknya manusia!*


Esai dimuat di Rubrik RUANG PUTIH, JAWA POS edisi Minggu, 16 Oktober 2011

0 komentar:

Posting Komentar